Kamis, 11 Juli 2013

Fenomena Ramadhan di Tahun Politik



Oleh: DIDIK EDI NURAJI, S.Sos, MM
Alumni STIEKN Jayanegara Malang

Ahlan wa sahlan yaa Ramadhan…. Selamat datang wahai Ramadhan…. Itulah yang diucapkan kaum Muslimin di seantero dunia menjelang bulan Ramadhan tiba. Di Indonesia, lebih seru lagi. Ribuan spanduk menyambut Ramadhan pun tersebar di mana-mana. Di tahun politik ini banyak partai, elite politik, calon legislatif, pengurus dan kader partai memanfaatkan Ramadhan untuk meyakinkan pemilih agar mencoblosnya pada Pemilu 2014 yang akan datang.
Sarana-sarana publikasi, seperti spanduk dan banner ucapan selamat berpuasa terpasang di berbagai penjuru kota maupun di desa. Iklan di media cetak dan elektronik tak lupa juga dipasang. Tujuan dari pemasangan alat-alat publikasi seperti spannduk-spanduk tersebut tidak lain adalah supaya yang bersangkutan dikenal, disukai dan dipilih oleh masyarakat pemilih.

Bersamaan dengan pemasangan spanduk dan banner tersebut, untuk lebih menarik perhatian dan animo masyarakat, pada momentum Ramadhan tidak jarang para politisi tersebut juga menggelar buka puasa bersama hingga pemberian paket sembako dan perlengkapan kebutuhan lebaran. untuk memperkokoh pertalian antara partai, politisi dengan masyarakat pemilihnya. Selain buka puasa bersama, biasanya juga dilakukan penyediaan takjil gratis di lokasi-lokasi tertentu serta menggelar pasar murah dengan kemasan untuk meringankan beban masyarakat pasca kenaikan BBM dan menjelang hari raya Idul Fitri.
Kita akui secara ilmu politik, bulan Ramadhan adalah momentum yang tepat dan efektif untuk dimanfaatkan sebagai ajang untuk mensosialisasikan diri dan partai. Kendati demikian disisi lain, bagi calon legislatif yang kondisi modal (materi) kurang memadai, momentum ramadhan dan lebaran ini terkadang malah menjadi sebuah persoalan. Mengapa demikian, karena saat ini masyarakat yang sudah terlanjur dikenalkan pada  money politik, justru menjadikan momentum Ramadhan dan lebaran sebagai ajang untuk menunggu distribusi paket ramadhan ataupun bingkisan lebaran dari para calon legislative.   Tidak keliru bila beberapa calon legislatif menyebutnya sebagai  hari-hari yang maha berat secara politik, ekonomi dan sosial bagi politisi. Ini “jihad akbar” dalam berkompetisi. Seluruh partai dan caleg memiliki maksud yang sama dalam menampilkan partai dan figur yang dimiliki prima dan utama dibandingkan yang lain.
Jika kita perhatikan di sekitar, dengan cerdas di setiap bulan Ramadhan para politikus tak mau ketinggalan momentum untuk melancarkan program politiknya. Mereka keluar menyapa masyarakat melalui ucapan selamat berpuasa dengan menggunakan seribu satu macam media. Bulan Ramadhan dijadikan momen spesial untuk membawa diri dan bendera partai politik. Secara marathon berbagai agenda digelar dengan penyusunan acara sedetil mungkin.
Di sinilah kita melihat bahwa ternyata di bulan Ramadhan, bukan hanya rakyat jelata yang gembira karena pada bulan ini tiba-tiba banyak orang dermawan, tiba-tiba banyak yang memberi sumbangan, tiba-tiba semua menjadi baik. Bulan Ramadhan juga ternyata menjadi momen spesial bagi politikus.
Fenomena tersebut sebenarnya sudah menjadi rahasia umum di negeri yang selalu ramai dengan politik ini. Mulai marak kita saksikan sejak kran demokratisasi terbuka dan membebaskan berbagai cara mencari simpati rakyat yang dinalar oleh logika politik sebagai pemilih.
Dalam perspektif political marketing, tentunya sah-sah saja karena merupakan bagian dari kreatifitas yang cukup inovatif dalam proses komunikasi politik seorang politikus atau parpol.
Namun jika momentum tersebut hanya sekedar latah-latahan, dalam artian tidak kontributif dalam pendewasaan demorkasi bangsa ini, tentu menjadi sia-sia. Jika kita melihat sakralitas Ramadhan sebagai bulan suci, maka besar harapan bahwa aktifitas politik selama sebulan penuh, menjadi titik balik bagi penataan wajah politik bangsa ini. Bagi politikus, Ramadhan juga harus membawa “berkah”. Yaitu untuk popularitas. Konstruksi pencitraan tentu menjadi mainstream dari semua rangkaian agenda
Bila kita sedikit menoleh pada hasil survei/riset yang dilakukan pada tanggal 3-5 Juli 2013 dengan 1.200 responden dari 33 provinsi  yang dilakukan oleh Survei Lingkaran Survei Indonesia (LSI) yang merilis data 51,5 persen masyarakat sudah kurang percaya dengan moralitas elite politik. Namun diharapkan banyak elite politik yang mengubah perilakunya saat bulan Ramadan.
Momentum puasa Ramadan diharapkan bisa jadi momentum perbaikan perilaku elite. Berdasarkan survei 'Moralitas Publik Para Elite di Titik Nadir', survei tersebut menyatakan 36,5 persen publik yakin ada perubahan perilaku elite politik selama Ramadan. Sementara sebesar 40,2 persen menyatakan perilaku elit politik tidak akan berubah meski bulan Ramadhan.
Jika elite politik tidak memanfaatkan momentum Ramadan untuk memperbaiki diri ke depannya, masyarakat akan semakin apatis terhadap demokrasi di Indonesia. Idealnya, angka-angka statistik tersebut mengonstruksi awarness (kesadaran) pada politikus dan parpol untuk membenahi akhlak politik. Dalam hubungannya dengan bulan Ramadhan, keterbukaan masyarakat, harus dimanfaatkan secara positif. Diantaranya dengan menjaring sekaligus menampung aspirasi masyarakat untuk diteruskan dan selanjutnya diperjuangkan baik di level legislatif bagi anggota legislatif, mapun di level eksekutif bagi parpol yang memegang kendali pemerintahan.
Selain untuk memperbaiki kepercayaan masyarakat terhadap elite politik, langkah untuk perubahan pada bulan Ramadhan ini perlu diambil demi kemaslahatan bangsa dan agama agar terhindar dari musibah bahaya perbedaan politik yang tajam. Adanya perbedaan politik atau friksi tidak boleh dijadikan alasan untuk memutuskan tali silaturrahim. Namun hendaknya justeru perbedaan itu akan memberikan warna dan mengakui dengan jiwa besar.
Kendati demikian rekonsialisasi di kalangan/antar elit politik yang kerap dibungkus dengan acara "halal bi halal" pascaRamadhan, realisasinya tidak semudah membalikkan telapak tangan. Itu biasanya menjadi ajang seremonial saja, padahal semestinya jika kembali pada ajaran Agama Islam, justeru hari kemenangan tersebut betul-betul mengajak manusia untuk kembali "Fitrah" atau suci, tanpa ada rasa dendam atau dengki.
Hal itu dinilai untuk mendekatkan sang pejabat dengan masyarakat atau konstituennya dengan membagi-bagikan sembilan bahan pokok (sembako), zakat mal hingga zakat fitrah. Namun sayangnya, lanjut dia, aksi sosial tersebut adakalanya dibarengi dengan muatan politis, misalnya berharap agar lebih populis. Semuanya itu terpulang pada niat masing-masing dari pelaku politik maupun pemerintahan pada saat berhadapan dengan masyarakat.
Berkaitan dengan hal tersebut, akan sangat indah bila  masyarakat muslim khususnya di Indonesia agar memanfaatkan momentum Ramadan dan Idul Fitri untuk mencairkan kebekuan hubungan dan kembali menghangatkan hubungan silaturrahim.
Ahlan wa sahlan yaa Ramadhan adalah sebuah ungkapan yang sangat dalam maknanya. Ungkapan yang mencerminkan penghormatan luar biasa bagaikan menyambut kedatangan tamu yang amat sangat mulia. Memang demikianlah halnya. Ramadhan dengan segala aktivitasnya adalah momentum terbaik mengikuti Training Manajemen Syahwat bagi orang-orang beriman. Ramadhan adalah bulan kemenangan hamba mukmin jika dia berhasil memperoleh kasih sayang, ampunan dan jaminan keselamatan dari neraka Allah Rabbul ‘Alamin.
Ramadhan bukan bulan promosi diri, partai, kelompok dan momentum berlomba-lomba meraih kekuasaan dan kepentingan dunia lainnya. Melainkan bulan limpahan rahmah (kasih sayang), maghfirah, dan ‘itqun minannar (terlepas dari api neraka) di akhirat kelak.
Ramadhan adalah waktu termahal dalam hidup kita yang datang setiap tahun tanpa diundang. Ramadhan dengan segala aktivitasnya, khususnya shaum (puasa) adalah kesempatan emas untuk mengikuti Training Manajemen Syahwat dan disiplin tinggi dalam hidup melalui berbagai ibadah yang kita lakukan baik di siang hari maupun di malamnya. Ramadhan dengan segala aktivitasnya adalah momentum termahal untuk meraih kesehatan ruhiyyah (spiritual), sulukiyah (perilaku) dan juga kesehatan jasadiyah (fisik).
Ramadhan momentum terbaik untuk taqorrub ilallah (mendekatkan diri pada Allah), kembali ke jalan Allah dan bertaubat atas segala dosa, kesalahan dan kelemahan. Karena di bulan ini pintu syurga Allah buka selebar-lebarnya, pintu neraka Dia tutup serapat-rapatnya dan setan-setan dibelenggu-Nya
Sekali lagi, Ramadhan bagi politikus tidak cukup sekedar memajang foto dan ucapan artifisial yang sangat simbolik. Ramadhan harus mampu menjadi inkubator politik. Pasca Ramadhan, nilai-nilai yang selama ini hilang (prematurisme politik), harusnya mampu dihadirkan kembali. Nilai ketulusan, kejujuran, keikhlasan yang semuanya padu dalam perintah puasa. Tentu harapan besar ini terutama kita tujukan bagi saudara-saudara kita para politisi muslim, agar kedepan menjadi role model perpolitikan nasional di tengah degradasi model yang mengancam ruang keumatan dan kebangsaan kita.
Pada akhirnya, kita berharap bahwa  nilai-nilai Ramadan menjadi kristal yang mengonstruksi akhlak sosial politik bagi bangsa ini. Khususnya para pemimpin yang selama ini sering jauh dari rakyatnya. Semoga! Marhaban Yaa Ramadan dan maaf lahir batin. (*)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar