Alumni
STIEKN Jayanegara Malang
Ahlan wa sahlan yaa Ramadhan….
Selamat datang wahai Ramadhan…. Itulah yang diucapkan kaum Muslimin di seantero
dunia menjelang bulan Ramadhan tiba. Di Indonesia, lebih seru lagi. Ribuan spanduk
menyambut Ramadhan pun tersebar di mana-mana. Di tahun politik ini banyak
partai, elite politik, calon legislatif, pengurus dan kader partai memanfaatkan
Ramadhan untuk meyakinkan pemilih agar mencoblosnya pada Pemilu 2014 yang akan
datang.
Sarana-sarana
publikasi, seperti spanduk dan banner ucapan selamat berpuasa terpasang di
berbagai penjuru kota maupun di desa. Iklan di media cetak dan elektronik tak
lupa juga dipasang. Tujuan dari pemasangan alat-alat publikasi seperti
spannduk-spanduk tersebut tidak lain adalah supaya yang bersangkutan dikenal,
disukai dan dipilih oleh masyarakat pemilih.
Bersamaan
dengan pemasangan spanduk dan banner tersebut, untuk lebih menarik perhatian
dan animo masyarakat, pada momentum Ramadhan tidak jarang para politisi
tersebut juga menggelar buka puasa bersama hingga pemberian paket sembako dan
perlengkapan kebutuhan lebaran. untuk memperkokoh pertalian antara partai,
politisi dengan masyarakat pemilihnya. Selain buka puasa bersama, biasanya juga
dilakukan penyediaan takjil gratis di lokasi-lokasi tertentu serta menggelar
pasar murah dengan kemasan untuk meringankan beban masyarakat pasca kenaikan
BBM dan menjelang hari raya Idul Fitri.
Kita
akui secara ilmu politik, bulan Ramadhan adalah momentum yang tepat dan efektif
untuk dimanfaatkan sebagai ajang untuk mensosialisasikan diri dan partai.
Kendati demikian disisi lain, bagi calon legislatif yang kondisi modal (materi)
kurang memadai, momentum ramadhan dan lebaran ini terkadang malah menjadi
sebuah persoalan. Mengapa demikian, karena saat ini masyarakat yang sudah
terlanjur dikenalkan pada money politik,
justru menjadikan momentum Ramadhan dan lebaran sebagai ajang untuk menunggu
distribusi paket ramadhan ataupun bingkisan lebaran dari para calon
legislative. Tidak keliru bila beberapa
calon legislatif menyebutnya sebagai
hari-hari yang maha berat secara politik, ekonomi dan sosial bagi
politisi. Ini “jihad akbar” dalam berkompetisi. Seluruh partai dan caleg
memiliki maksud yang sama dalam menampilkan partai dan figur yang dimiliki
prima dan utama dibandingkan yang lain.
Jika
kita perhatikan di sekitar, dengan cerdas di setiap bulan Ramadhan para
politikus tak mau ketinggalan momentum untuk melancarkan program politiknya.
Mereka keluar menyapa masyarakat melalui ucapan selamat berpuasa dengan
menggunakan seribu satu macam media. Bulan Ramadhan dijadikan momen spesial
untuk membawa diri dan bendera partai politik. Secara marathon berbagai agenda digelar
dengan penyusunan acara sedetil mungkin.
Di
sinilah kita melihat bahwa ternyata di bulan Ramadhan, bukan hanya rakyat
jelata yang gembira karena pada bulan ini tiba-tiba banyak orang dermawan,
tiba-tiba banyak yang memberi sumbangan, tiba-tiba semua menjadi baik. Bulan
Ramadhan juga ternyata menjadi momen spesial bagi politikus.
Fenomena
tersebut sebenarnya sudah menjadi rahasia umum di negeri yang selalu ramai
dengan politik ini. Mulai marak kita saksikan sejak kran demokratisasi terbuka
dan membebaskan berbagai cara mencari simpati rakyat yang dinalar oleh logika
politik sebagai pemilih.
Dalam
perspektif political marketing, tentunya sah-sah saja karena merupakan bagian
dari kreatifitas yang cukup inovatif dalam proses komunikasi politik seorang politikus
atau parpol.
Namun
jika momentum tersebut hanya sekedar latah-latahan, dalam artian tidak
kontributif dalam pendewasaan demorkasi bangsa ini, tentu menjadi sia-sia. Jika
kita melihat sakralitas Ramadhan sebagai bulan suci, maka besar harapan bahwa aktifitas
politik selama sebulan penuh, menjadi titik balik bagi penataan wajah politik
bangsa ini. Bagi politikus, Ramadhan juga harus membawa “berkah”. Yaitu untuk
popularitas. Konstruksi pencitraan tentu menjadi mainstream dari semua
rangkaian agenda
Bila
kita sedikit menoleh pada hasil survei/riset yang dilakukan pada tanggal 3-5
Juli 2013 dengan 1.200 responden dari 33 provinsi yang dilakukan oleh Survei Lingkaran Survei
Indonesia (LSI) yang merilis data 51,5 persen masyarakat sudah kurang percaya
dengan moralitas elite politik. Namun diharapkan banyak elite politik yang
mengubah perilakunya saat bulan Ramadan.
Momentum
puasa Ramadan diharapkan bisa jadi momentum perbaikan perilaku elite.
Berdasarkan survei 'Moralitas Publik Para Elite di Titik Nadir', survei
tersebut menyatakan 36,5 persen publik yakin ada perubahan perilaku elite
politik selama Ramadan. Sementara sebesar 40,2 persen menyatakan perilaku elit
politik tidak akan berubah meski bulan Ramadhan.
Jika
elite politik tidak memanfaatkan momentum Ramadan untuk memperbaiki diri ke
depannya, masyarakat akan semakin apatis terhadap demokrasi di Indonesia.
Idealnya, angka-angka statistik tersebut mengonstruksi awarness (kesadaran)
pada politikus dan parpol untuk membenahi akhlak politik. Dalam hubungannya
dengan bulan Ramadhan, keterbukaan masyarakat, harus dimanfaatkan secara
positif. Diantaranya dengan menjaring sekaligus menampung aspirasi masyarakat
untuk diteruskan dan selanjutnya diperjuangkan baik di level legislatif bagi
anggota legislatif, mapun di level eksekutif bagi parpol yang memegang kendali
pemerintahan.
Selain
untuk memperbaiki kepercayaan masyarakat terhadap elite politik, langkah untuk
perubahan pada bulan Ramadhan ini perlu diambil demi kemaslahatan bangsa dan
agama agar terhindar dari musibah bahaya perbedaan politik yang tajam. Adanya
perbedaan politik atau friksi tidak boleh dijadikan alasan untuk memutuskan
tali silaturrahim. Namun hendaknya justeru perbedaan itu akan memberikan warna
dan mengakui dengan jiwa besar.
Kendati
demikian rekonsialisasi di kalangan/antar elit politik yang kerap dibungkus
dengan acara "halal bi halal" pascaRamadhan, realisasinya tidak
semudah membalikkan telapak tangan. Itu biasanya menjadi ajang seremonial saja,
padahal semestinya jika kembali pada ajaran Agama Islam, justeru hari
kemenangan tersebut betul-betul mengajak manusia untuk kembali
"Fitrah" atau suci, tanpa ada rasa dendam atau dengki.
Hal
itu dinilai untuk mendekatkan sang pejabat dengan masyarakat atau konstituennya
dengan membagi-bagikan sembilan bahan pokok (sembako), zakat mal hingga zakat
fitrah. Namun sayangnya, lanjut dia, aksi sosial tersebut adakalanya dibarengi
dengan muatan politis, misalnya berharap agar lebih populis. Semuanya itu
terpulang pada niat masing-masing dari pelaku politik maupun pemerintahan pada
saat berhadapan dengan masyarakat.
Berkaitan
dengan hal tersebut, akan sangat indah bila
masyarakat muslim khususnya di Indonesia agar memanfaatkan momentum
Ramadan dan Idul Fitri untuk mencairkan kebekuan hubungan dan kembali menghangatkan
hubungan silaturrahim.
Ahlan wa sahlan yaa Ramadhan
adalah sebuah ungkapan yang sangat dalam maknanya. Ungkapan yang mencerminkan
penghormatan luar biasa bagaikan menyambut kedatangan tamu yang amat sangat
mulia. Memang demikianlah halnya. Ramadhan dengan segala aktivitasnya adalah
momentum terbaik mengikuti Training Manajemen Syahwat bagi orang-orang beriman.
Ramadhan adalah bulan kemenangan hamba mukmin jika dia berhasil memperoleh
kasih sayang, ampunan dan jaminan keselamatan dari neraka Allah Rabbul ‘Alamin.
Ramadhan
bukan bulan promosi diri, partai, kelompok dan momentum berlomba-lomba meraih
kekuasaan dan kepentingan dunia lainnya. Melainkan bulan limpahan rahmah (kasih
sayang), maghfirah, dan ‘itqun minannar (terlepas dari api neraka) di akhirat
kelak.
Ramadhan
adalah waktu termahal dalam hidup kita yang datang setiap tahun tanpa diundang.
Ramadhan dengan segala aktivitasnya, khususnya shaum (puasa) adalah kesempatan
emas untuk mengikuti Training Manajemen Syahwat dan disiplin tinggi dalam hidup
melalui berbagai ibadah yang kita lakukan baik di siang hari maupun di
malamnya. Ramadhan dengan segala aktivitasnya adalah momentum termahal untuk
meraih kesehatan ruhiyyah (spiritual), sulukiyah (perilaku) dan juga kesehatan
jasadiyah (fisik).
Ramadhan
momentum terbaik untuk taqorrub ilallah (mendekatkan diri pada Allah), kembali
ke jalan Allah dan bertaubat atas segala dosa, kesalahan dan kelemahan. Karena
di bulan ini pintu syurga Allah buka selebar-lebarnya, pintu neraka Dia tutup
serapat-rapatnya dan setan-setan dibelenggu-Nya
Sekali
lagi, Ramadhan bagi politikus tidak cukup sekedar memajang foto dan ucapan
artifisial yang sangat simbolik. Ramadhan harus mampu menjadi inkubator
politik. Pasca Ramadhan, nilai-nilai yang selama ini hilang (prematurisme
politik), harusnya mampu dihadirkan kembali. Nilai ketulusan, kejujuran,
keikhlasan yang semuanya padu dalam perintah puasa. Tentu harapan besar ini
terutama kita tujukan bagi saudara-saudara kita para politisi muslim, agar
kedepan menjadi role model perpolitikan nasional di tengah degradasi model yang
mengancam ruang keumatan dan kebangsaan kita.
Pada
akhirnya, kita berharap bahwa
nilai-nilai Ramadan menjadi kristal yang mengonstruksi akhlak sosial
politik bagi bangsa ini. Khususnya para pemimpin yang selama ini sering jauh
dari rakyatnya. Semoga! Marhaban Yaa Ramadan dan maaf lahir batin. (*)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar