Rabu, 21 Agustus 2013

Defisit Neraca Perdagangan Lemahkan Rupiah



Oleh : DIDIK EDI NURAJI, S.Sos, MM
Alumni Pasca Sarjana STIEKN Jayanegara Malang

Pergerakan nilai tukar Rupiah mulai pekan ini terus menunjukkan posisi terburuk hingga menembus diposisi Rp 10.708 per USD. Bahkan, Rupiah terus tergerus pada posisi 10.738 per USD. Penurunan rupiah ini terjadi karena Neraca Perdagangan Indonesia (NPI) yang belakangan ini terus mencatatkan defisit. Selain itu, faktor domestik lainnya adalah karena reaksi atas asumsi makro pada APBN 2014 yang dinilai kurang pro terhadap pasar.
Sepanjang NPI terus melemah sepanjang itu pula rupiah terdepresiasi. Neraca perdagangan yang terus turun adalah penyebab dari terjadinya tekanan terhadap rupiah. Sepanjang neraca perdagangaan melemah maka dipastikan rupiah turun. Turunnya nilai rupiah juga dipicu oleh permintaan barang migas. Selama ini ekspor nonmigas kita dari sumber daya alam dinilai masih belum bagus. Ini pemicu terjadinya defisit neraca perdagangan. 

Fluktuasi nilai tukar rupiah terhadap dolar AS yang terus terjadi dipicu oleh tekanan impor terhadap ekspor. Depresiasi nilai tukar rupiah terhadap dolar AS dimotori oleh impor yang lebih besar ketimbang ekspor. Rupiah melemah karena permintaan dolar AS lebih besar dari suplai dolar AS dari ekspor sehingga membuat neraca perdagangan defisit.
Impor yang membesar disebabkan terutama oleh kenaikan impor beberapa bahan pangan dan kenaikan impor minyak yang signifikan. Sedangkan kenaikan impor minyak disebabkan oleh bahan bakar minyak (BBM) yang meningkat di luar kewajaran akibat murahnya harga BBM karena subsidi.
Seperti kita ketahui bersama, yang mempengaruhi indeks valas naik turun adalah market dunia,dimana beberapa aktivitas pasar yg menentukan seperti : permintaan atas mata uang tersebut di dunia nasional, politik internasional, kegiatan / acara penting di sebuah negara, bahasan soal politik ekonomi negara pemegang peranan (pakar politik negara yg memakai kurs dolar us, dolar ausi, euro, chs swiss, ponds france, yen jepang, yuan jepang), kejadian Politik tak terduga (bom, ancaman, perang dll), pemborongan pasar untuk mata uang tertentu atau untuk indeks tertentu (cth. cina memborong emas dari banyak negara untuk diolah di negaranya, nilai kurs emas naik melonjak dan nilai $US menurun).
Sedangkan melemahnya nilai tukar rupiah saat ini dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya adalah tingginya  neraca perdagangan Indonesia yang defisit, kenaikan harga BBM, faktor politik menjelang perhelatan pemilihan umum 2014 mendatang. Faktor lain melemahnya nilai tukar rupiah dipicu oleh pembalikan dana asing (capital reversal). Ekonomi global yang belum pulih membuat investor menukarkan produk investasinya ke jenis investasi dengan risiko paling aman, yaitu dollar AS.
Selain itu, faktor menguatnya sinyal pengurangan program stimulus bank sentral Amerika Serikat (The Fed) membuat nilai tukar dolar kian menjulang sehingga memicu tekanan terhadap rupiah. Kuatnya sentimen negatif The Fed juga membuat tekanan terhadap rupiah menjadi begitu tinggi. Rilis data perekonomian Amerika Serikat (AS) yang semakin positif menguatkan asumsi bahwa The Fed akan mulai mengurangi program pelonggaran kuantitatifnya (QE 3) pada bulan September 2013.
Sebelumnya, Amerika Serikat kembali merilis perbaikan data perekonomiannya seperti angka pembangunan rumah baru yang meningkat menjadi 896 ribu unit di bulan Juli dan kenaikan indeks kepercayaan konsumen yang bertambah menjadi 85,1. Data-data tersebut kemudian dimaknai pelaku pasar sebagai pertanda bahwa pemulihan perekonomian AS telah berjalan sesuai dengan rencana. Ramainya sentimen negatif yang bermunculan dari dalam negeri juga terus menekan pergerakan rupiah. Kekhawatiran tersebut akhirnya kian membangun ekspektasi pelemahan rupiah akan terus berlanjut. Defisit transaksi berjalan akan menyebabkan permintaan dolar meningkat di satu sisi dan mengurangi likuiditas dolar di sisi yang lain.
Melemahnya nilai tukar dan pasar modal juga bisa dipicu sentimen atau persoalan fundamental. Dikatakan, sentimen negatif bisa diatasi dengan pesan dari pemerintah mengenai kejelasan arah kebijakan, baik itu dari otoritas fiskal, moneter, Menko Perekonomian dan Presiden.
Apabila dipicu dari sisi fundamental, pelaku pasar akan melihatnya dari sisi indikator yang menunjang sentimen itu apakah itu neraca pembayaran dari sisi fiskal, atau sisi ketahanan moneter, dari sisi stabilitas sektor keuangan.
Laporan Kebijakan Moneter Triwulan II-2013 yang diterbitkan Bank Indonesia (BI) Juli 2013 menyebutkan bahwa, selama Triwulan II-2013, secara point-to-point, rupiah melemah sebesar 2,09 persen (qtq) menjadi 9.925 per dolar. BI menyebutkan bahwa pelemahan rupiah ini sesuai dengan nilai fundamentalnya. BI tidak secara eksplisit menyebutkan maksud dari pernyataan "telah sesuai dengan nilai fundamentalnya" itu.
Fundamental ekonomi Indonesia sesungguhnya cukup baik, meski trennya melemah. Pertumbuhan ekonomi pada 2013 diperkirakan masih cukup tinggi di kisaran 5,8-6,2 persen, namun lebih rendah dari perkiraan sebelumnya 6,2-6,6 persen. Penurunan kinerja perekonomian tersebut disebabkan oleh belum kuatnya ekspor sejalan pertumbuhan ekonomi global dan harga komoditas global yang masih lemah. Konsumsi rumah tangga dan investasi juga diperkirakan sedikit tertahan sebagai dampak menurunnya daya beli akibat belum kuatnya permintaan ekspor dan kenaikan harga BBM bersubsidi.
Pertanyaannya, apakah rupiah yang kini berada di atas 10.738 per USD juga dapat dinyatakan sebagai "telah sesuai dengan fundamentalnya"? Tampaknya, ini perlu dikaji lebih mendalam. Namun saya berkeyakinan bahwa pelemahan rupiah dalam beberapa minggu terakhir rasanya terlalu masif. Terlebih, pelemahan rupiah ini terjadi pada saat mata uang kawasan lainnya justru menguat.
Pelemahan rupiah dalam sebulan terakhir ini mulanya dipicu oleh sentimen sial rencana pengurangan (tapering off) stimulus moneter, atau yang sering dikenal sebagai Quantitative Easing Jilid III, oleh bank sentral Amerika Serikat, Federal Reserve (The Fed). Rencana The Fed ini telah menimbulkan over-reaction dan berakibat penguatan dolar AS dan pelemahan mata uang emerging markets (termasuk Indonesia). Seperti halnya mata uang lainnya di kawasan Asia, pelemahan rupiah dipengaruhi penyesuaian kepemilikan non-residen di aset keuangan domestik.
Sebagai salah satu solusi dari terus melemahnya nilai tukar rupiah saat ini, pemerintah harus membantu mengatasi masalah fundamental dalam negeri. Misalnya inflasi yang dikhawatirkan melonjak, khususnya selepas kebijakan kenaikan harga BBM bersubsidi. Investor masih menunggu bauran kebijakan Bank Indonesia (BI) untuk menuntaskan masalah inflasi ini.
Bagaimanapun, risiko inflasi ini membuyarkan imbal hasil beragam produk investasi yang ada di tanah air. Inflasi yang melonjak ini juga turut menurunkan pertumbuhan ekonomi karena sebagian besar kontribusinya masih ditopang dari konsumsi domestik dan investasi.
Jika risiko inflasi tinggi, maka daya konsumsi masyarakat juga menurun. Ini juga yang menyebabkan penurunan pertumbuhan ekonomi. Investor asing juga masih pikir-pikir untuk investasi di Indonesia jika inflasinya tinggi. Dengan solusi tersebut kita semua berharap semoga rupiah kita akan segera menguat dan kembali berada pada kisaran dibawah Rp.10 ribu per USD, amin…

Tidak ada komentar:

Posting Komentar