Oleh
: DIDIK EDI NURAJI, S.Sos, MM
Alumni Pasca Sarjana STIEKN
Jayanegara Malang
Pergerakan nilai
tukar Rupiah mulai pekan ini terus menunjukkan posisi terburuk hingga menembus
diposisi Rp 10.708 per USD. Bahkan, Rupiah terus tergerus pada posisi 10.738
per USD. Penurunan rupiah ini terjadi karena Neraca Perdagangan Indonesia (NPI)
yang belakangan ini terus mencatatkan defisit. Selain itu, faktor domestik
lainnya adalah karena reaksi atas asumsi makro pada APBN 2014 yang dinilai
kurang pro terhadap pasar.
Sepanjang NPI
terus melemah sepanjang itu pula rupiah terdepresiasi. Neraca perdagangan yang
terus turun adalah penyebab dari terjadinya tekanan terhadap rupiah. Sepanjang
neraca perdagangaan melemah maka dipastikan rupiah turun. Turunnya nilai rupiah
juga dipicu oleh permintaan barang migas. Selama ini ekspor nonmigas kita dari
sumber daya alam dinilai masih belum bagus. Ini pemicu terjadinya defisit
neraca perdagangan.
Fluktuasi nilai
tukar rupiah terhadap dolar AS yang terus terjadi dipicu oleh tekanan impor
terhadap ekspor. Depresiasi nilai tukar rupiah terhadap dolar AS dimotori oleh
impor yang lebih besar ketimbang ekspor. Rupiah melemah karena permintaan dolar
AS lebih besar dari suplai dolar AS dari ekspor sehingga membuat neraca
perdagangan defisit.
Impor yang
membesar disebabkan terutama oleh kenaikan impor beberapa bahan pangan dan
kenaikan impor minyak yang signifikan. Sedangkan kenaikan impor minyak
disebabkan oleh bahan bakar minyak (BBM) yang meningkat di luar kewajaran
akibat murahnya harga BBM karena subsidi.
Seperti kita
ketahui bersama, yang mempengaruhi indeks valas naik turun adalah market
dunia,dimana beberapa aktivitas pasar yg menentukan seperti : permintaan atas
mata uang tersebut di dunia nasional, politik internasional, kegiatan / acara
penting di sebuah negara, bahasan soal politik ekonomi negara pemegang peranan
(pakar politik negara yg memakai kurs dolar us, dolar ausi, euro, chs swiss,
ponds france, yen jepang, yuan jepang), kejadian Politik tak terduga (bom,
ancaman, perang dll), pemborongan pasar untuk mata uang tertentu atau untuk
indeks tertentu (cth. cina memborong emas dari banyak negara untuk diolah di
negaranya, nilai kurs emas naik melonjak dan nilai $US menurun).
Sedangkan melemahnya
nilai tukar rupiah saat ini dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya adalah
tingginya neraca perdagangan Indonesia
yang defisit, kenaikan harga BBM, faktor politik menjelang perhelatan pemilihan
umum 2014 mendatang. Faktor lain melemahnya nilai tukar rupiah dipicu oleh
pembalikan dana asing (capital reversal). Ekonomi global yang belum pulih
membuat investor menukarkan produk investasinya ke jenis investasi dengan
risiko paling aman, yaitu dollar AS.
Selain itu, faktor
menguatnya sinyal pengurangan program stimulus bank sentral Amerika Serikat
(The Fed) membuat nilai tukar dolar kian menjulang sehingga memicu tekanan
terhadap rupiah. Kuatnya sentimen negatif The Fed juga membuat tekanan terhadap
rupiah menjadi begitu tinggi. Rilis data perekonomian Amerika Serikat (AS) yang
semakin positif menguatkan asumsi bahwa The Fed akan mulai mengurangi program
pelonggaran kuantitatifnya (QE 3) pada bulan September 2013.
Sebelumnya,
Amerika Serikat kembali merilis perbaikan data perekonomiannya seperti angka
pembangunan rumah baru yang meningkat menjadi 896 ribu unit di bulan Juli dan
kenaikan indeks kepercayaan konsumen yang bertambah menjadi 85,1. Data-data
tersebut kemudian dimaknai pelaku pasar sebagai pertanda bahwa pemulihan
perekonomian AS telah berjalan sesuai dengan rencana. Ramainya sentimen negatif
yang bermunculan dari dalam negeri juga terus menekan pergerakan rupiah.
Kekhawatiran tersebut akhirnya kian membangun ekspektasi pelemahan rupiah akan
terus berlanjut. Defisit transaksi berjalan akan menyebabkan permintaan dolar
meningkat di satu sisi dan mengurangi likuiditas dolar di sisi yang lain.
Melemahnya nilai
tukar dan pasar modal juga bisa dipicu sentimen atau persoalan fundamental.
Dikatakan, sentimen negatif bisa diatasi dengan pesan dari pemerintah mengenai
kejelasan arah kebijakan, baik itu dari otoritas fiskal, moneter, Menko
Perekonomian dan Presiden.
Apabila dipicu
dari sisi fundamental, pelaku pasar akan melihatnya dari sisi indikator yang
menunjang sentimen itu apakah itu neraca pembayaran dari sisi fiskal, atau sisi
ketahanan moneter, dari sisi stabilitas sektor keuangan.
Laporan Kebijakan
Moneter Triwulan II-2013 yang diterbitkan Bank Indonesia (BI) Juli 2013
menyebutkan bahwa, selama Triwulan II-2013, secara point-to-point, rupiah melemah
sebesar 2,09 persen (qtq) menjadi 9.925 per dolar. BI menyebutkan bahwa
pelemahan rupiah ini sesuai dengan nilai fundamentalnya. BI tidak secara
eksplisit menyebutkan maksud dari pernyataan "telah sesuai dengan nilai
fundamentalnya" itu.
Fundamental ekonomi
Indonesia sesungguhnya cukup baik, meski trennya melemah. Pertumbuhan ekonomi
pada 2013 diperkirakan masih cukup tinggi di kisaran 5,8-6,2 persen, namun
lebih rendah dari perkiraan sebelumnya 6,2-6,6 persen. Penurunan kinerja
perekonomian tersebut disebabkan oleh belum kuatnya ekspor sejalan pertumbuhan
ekonomi global dan harga komoditas global yang masih lemah. Konsumsi rumah
tangga dan investasi juga diperkirakan sedikit tertahan sebagai dampak
menurunnya daya beli akibat belum kuatnya permintaan ekspor dan kenaikan harga
BBM bersubsidi.
Pertanyaannya,
apakah rupiah yang kini berada di atas 10.738 per USD juga dapat dinyatakan
sebagai "telah sesuai dengan fundamentalnya"? Tampaknya, ini perlu
dikaji lebih mendalam. Namun saya berkeyakinan bahwa pelemahan rupiah dalam
beberapa minggu terakhir rasanya terlalu masif. Terlebih, pelemahan rupiah ini
terjadi pada saat mata uang kawasan lainnya justru menguat.
Pelemahan rupiah
dalam sebulan terakhir ini mulanya dipicu oleh sentimen sial rencana
pengurangan (tapering off) stimulus moneter, atau yang sering dikenal sebagai
Quantitative Easing Jilid III, oleh bank sentral Amerika Serikat, Federal
Reserve (The Fed). Rencana The Fed ini telah menimbulkan over-reaction dan
berakibat penguatan dolar AS dan pelemahan mata uang emerging markets (termasuk
Indonesia). Seperti halnya mata uang lainnya di kawasan Asia, pelemahan rupiah
dipengaruhi penyesuaian kepemilikan non-residen di aset keuangan domestik.
Sebagai salah satu
solusi dari terus melemahnya nilai tukar rupiah saat ini, pemerintah harus
membantu mengatasi masalah fundamental dalam negeri. Misalnya inflasi yang
dikhawatirkan melonjak, khususnya selepas kebijakan kenaikan harga BBM
bersubsidi. Investor masih menunggu bauran kebijakan Bank Indonesia (BI) untuk
menuntaskan masalah inflasi ini.
Bagaimanapun,
risiko inflasi ini membuyarkan imbal hasil beragam produk investasi yang ada di
tanah air. Inflasi yang melonjak ini juga turut menurunkan pertumbuhan ekonomi
karena sebagian besar kontribusinya masih ditopang dari konsumsi domestik dan
investasi.
Jika risiko
inflasi tinggi, maka daya konsumsi masyarakat juga menurun. Ini juga yang
menyebabkan penurunan pertumbuhan ekonomi. Investor asing juga masih
pikir-pikir untuk investasi di Indonesia jika inflasinya tinggi. Dengan solusi
tersebut kita semua berharap semoga rupiah kita akan segera menguat dan kembali
berada pada kisaran dibawah Rp.10 ribu per USD, amin…
Tidak ada komentar:
Posting Komentar