Minggu, 11 Agustus 2013

Korupsi dan ‘The Envelope Country’

Oleh : DIDIK EDI NURAJI, S.Sos, MM
Alumni Pasca Sarjana STIEKN Jayanegara Malang

Semua orang pasti tahu bahwa penyakit terparah negeri ini adalah budaya korupsi, suap, dan kolusi. Bahkan koran The Straits Times dulu pernah menjuluki Indonesia sebagai the envelope country.  Pendek kata segala urusan semua bisa lancar bila ada “amplop”.
Fakta mencengangkan lainnya takkala kita ketahui bahwa Political and Economic Risk Consultancy (PERC) dalam survei-nya menempatkan Indonesia sebagai negara terkorup dari 16 negara se Asia Pasifik. Indonesia terkorup dengan skor 8,32 atau lebih buruk jika dibandingkan dengan Thailand (7,63). Sedangkan negara yang paling bersih dari korupsi adalah Negara tetangga kita, Singapura dengan skor 1,07.

Realita ini tentu sangat ironis sekali, bukankah negeri ini adalah negeri dengan populasi muslim terbesar di dunia? Tetapi mengapa justru menjadi negeri yang paling korup? Bukankah pula ajaran Islam melarang dengan keras dan bahkan mengutuk perbuatan korupsi, suap, dan kolusi?.
Saat ini kita tidak boleh hanya bertanya-tanya dan terus berkutat pada kata ‘mengapa?’, tapi kita dituntut untuk menemukan solusi agar korupsi dan kolusi dinegeri ini tidak makin membudaya dan menjadi sebuah kebiasaan. Salah satu yang harus kita upayakan dalam upaya preventif adalah dengan memperkuat keimanan dan budaya malu. Bagaimanapun juga, keimanan adalah benteng terbaik untuk mencegah perbuatan menipu. Karena orang yang imannya kuat takut terhadap adzab Allah SWT dan merasa senantiasa diawasi oleh Allah SWT meski tidak ada manusia yang melihatnya. Adapun rasa malu adalah bagian dari iman, yang tidak boleh hilang dari diri seorang mukmin.
Upaya lain yang mesti dilakukan adalah reformasi (penegakan) sistem birokrasi, dan hukum yang antikorupsi dan antikolusi, misalnya penegasan dan penegakan dengan sungguh-sungguh hukum yang melarang segala bentuk pemberian suap ataupun hadiah (gratifikasi) kepada pejabat atau hakim. Para pelaku korupsi harus mendapat hukuman yang berat. Tindak pidana korupsi termasuk dalam kelompok tindak pidana takzir. Oleh sebab itu, penentuan hukuman, baik jenis, bentuk dan jumlahnya diserahkan kepada pemerintah, dalam hal ini lembaga hukum dan peradilan. Penentuan hukuman terhadap koruptor harus mengacu kepada tujuan kemaslahatan masyarakat, situasi dan kondisi lingkungan, dan situasi serta kondisi sang koruptor, sehingga koruptor akan jera melakukan korupsi, dan hukuman itu juga bisa menjadi tindakan preventif bagi orang lain. Pemberian sanksi kepada koruptor tersebut akan terealisasi bila ada penegakan hukum secara tegas dan tanpa pandang bulu. Percuma saja hukum dibuat jika hanya untuk dilanggar. Bagaimana mungkin di negeri ini pencuri seekor ayam dan bahkan satu buah semangka dihukum penjara berbulan-bulan, sementara koruptor milyaran atau bahkan triliunan rupiah bisa bebas dari jeratan hukum? Hukum baru bisa berfungsi sebagai hukum jika diterapkan secara tegas dan tanpa pandang bulu.
Upaya lain yang tidak kalah pentingnya meski bukan faktor utama dalam upaya penanggulangan tindak korupsi dan kolusi adalah sistem penggajian yang layak. Sebagai manusia biasa, para pejabat/birokrat tentu memerlukan uang untuk mencukupi kebutuhan diri dan keluarganya. Untuk itu, agar bisa bekerja dengan tenang dan tak tergoda untuk berbuat curang, mereka harus diberi gaji dan fasilitas yang layak. Kita ketahui bersama bahwa sistem penggajian di Indonesia khususnya pada tataran staf pelaksana, terutama pada pemerintahan di daerah masih sangat rendah. Namun ini juga bukan satu-satunya solusi, karena manusia itu cenderung untuk tidak pernah puas hingga tanah menyumpal mulutnya (yakni mati). Kita lihat sendiri, betapa banyak para pejabat yang gajinya sudah banyak tapi tetap saja melakukan korupsi.
Setelah menata sistem penggajian layak, yang harus kita upayakan selanjutnya penghitungan kekayaan pejabat dan pembuktian terbalik. Orang yang melakukan korupsi, tentu jumlah kekayaannya akan bertambah dengan cepat. Meski tidak selalu orang yang cepat kaya pasti karena telah melakukan korupsi. Bisa saja ia mendapatkan semua kekayaannya itu dari warisan, keberhasilan bisnis atau cara lain yang halal. Tapi perhitungan kekayaan dan pembuktian terbalik sebagaimana telah dilakukan oleh Khalifah Umar bin Khattab menjadi cara yang bagus untuk mencegah korupsi. Semasa menjadi khalifah, Umar menghitung kekayaan para pejabat di awal dan di akhir jabatannya. Bila terdapat kenaikan yang tidak wajar, yang bersangkutan, diminta membuktikan bahwa kekayaan yang dimilikinya itu didapat dengan cara yang halal.
Dari waktu ke waktu kondisi negeri ini seakan makin sesak dengan banyaknya masalah korupsi dan kolusi, mungkin yang kita butuhkan adalah teladan dari para pemimpin. Orangtua dulu pernah berpesan ,“Jangan menyapu lantai, ketika masih membersihkan atap“. Bisa jadi pesan inilah yang perlu diamalkan oleh pemerintah kita. Pesan ini yang mungkin pas dengan watak masyarakat Indonesia yang masih cenderung paternalistik, menuntut pemberantasan korupsi dimulai dari atas. Kalau pemimpinnya memiliki keberanian dan kesungguhan untuk itu, saya yakin, korupsi dapat ditekan atau dikurangi, bahkan dihilangkan. Jika pemimpinnya bersih, yang dipimpin juga akan bersih atau setidaknya dapat diharapkan untuk menjadi bersih.
Dengan beberapa upaya tersebut nantinya bermuara pada kesadaran kolektif dan lahirnya kontrol publik. Bagaimanapun juga, harus ada kesadaran kolektif seluruh rakyat negeri ini mengenai pemberantasan korupsi, karena penyakit ini sudah mewabah dengan hebat. Tidak cukup kesadaran ini hanya dimiliki oleh segelintir orang saja. Demikian pula, masyarakat harus secara aktif dan terus-menerus mengontrol para pejabat agar tidak melakukan korupsi. Dalam hal ini, peran media sangat penting, tanpa harus terkotori oleh berbagai manipulasi dan akrobat politik. Melalui momentum Idul Fitri ini alangkah lebih baiknya bila kita benar-benar menjadikan titik balik dalam upaya penanggulangan dan pemberantasan korupsi. Paling tidak masyarakat kita akan merasa asing dengan kata yang namanya korupsi dan kolusi, dengan menjauhkan budaya ‘amplop’ dalam kehidupan kita, semoga…!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar