Oleh : DIDIK EDI NURAJI, S.Sos, MM
Alumni Pasca Sarjana STIEKN Jayanegara Malang
Semua orang pasti tahu bahwa penyakit terparah negeri ini adalah
budaya korupsi, suap, dan kolusi. Bahkan koran The Straits Times dulu pernah
menjuluki Indonesia sebagai the envelope country. Pendek kata segala urusan semua bisa lancar
bila ada “amplop”.
Fakta mencengangkan lainnya takkala kita ketahui bahwa Political and
Economic Risk Consultancy (PERC) dalam survei-nya menempatkan Indonesia sebagai
negara terkorup dari 16 negara se Asia Pasifik. Indonesia terkorup dengan skor
8,32 atau lebih buruk jika dibandingkan dengan Thailand (7,63). Sedangkan
negara yang paling bersih dari korupsi adalah Negara tetangga kita, Singapura
dengan skor 1,07.
Realita ini tentu sangat ironis sekali, bukankah negeri ini adalah
negeri dengan populasi muslim terbesar di dunia? Tetapi mengapa justru menjadi
negeri yang paling korup? Bukankah pula ajaran Islam melarang dengan keras dan
bahkan mengutuk perbuatan korupsi, suap, dan kolusi?.
Saat ini kita tidak boleh hanya bertanya-tanya dan terus berkutat pada
kata ‘mengapa?’, tapi kita dituntut untuk menemukan solusi agar korupsi dan
kolusi dinegeri ini tidak makin membudaya dan menjadi sebuah kebiasaan. Salah
satu yang harus kita upayakan dalam upaya preventif adalah dengan memperkuat
keimanan dan budaya malu. Bagaimanapun juga, keimanan adalah benteng terbaik
untuk mencegah perbuatan menipu. Karena orang yang imannya kuat takut terhadap
adzab Allah SWT dan merasa senantiasa diawasi oleh Allah SWT meski tidak ada
manusia yang melihatnya. Adapun rasa malu adalah bagian dari iman, yang tidak boleh
hilang dari diri seorang mukmin.
Upaya lain yang mesti dilakukan adalah reformasi (penegakan) sistem
birokrasi, dan hukum yang antikorupsi dan antikolusi, misalnya penegasan dan
penegakan dengan sungguh-sungguh hukum yang melarang segala bentuk pemberian
suap ataupun hadiah (gratifikasi) kepada pejabat atau hakim. Para pelaku
korupsi harus mendapat hukuman yang berat. Tindak pidana korupsi termasuk dalam
kelompok tindak pidana takzir. Oleh sebab itu, penentuan hukuman, baik jenis,
bentuk dan jumlahnya diserahkan kepada pemerintah, dalam hal ini lembaga hukum
dan peradilan. Penentuan hukuman terhadap koruptor harus mengacu kepada tujuan
kemaslahatan masyarakat, situasi dan kondisi lingkungan, dan situasi serta
kondisi sang koruptor, sehingga koruptor akan jera melakukan korupsi, dan
hukuman itu juga bisa menjadi tindakan preventif bagi orang lain. Pemberian
sanksi kepada koruptor tersebut akan terealisasi bila ada penegakan hukum
secara tegas dan tanpa pandang bulu. Percuma saja hukum dibuat jika hanya untuk
dilanggar. Bagaimana mungkin di negeri ini pencuri seekor ayam dan bahkan satu
buah semangka dihukum penjara berbulan-bulan, sementara koruptor milyaran atau
bahkan triliunan rupiah bisa bebas dari jeratan hukum? Hukum baru bisa
berfungsi sebagai hukum jika diterapkan secara tegas dan tanpa pandang bulu.
Upaya lain yang tidak kalah pentingnya meski bukan faktor utama dalam
upaya penanggulangan tindak korupsi dan kolusi adalah sistem penggajian yang
layak. Sebagai manusia biasa, para pejabat/birokrat tentu memerlukan uang untuk
mencukupi kebutuhan diri dan keluarganya. Untuk itu, agar bisa bekerja dengan
tenang dan tak tergoda untuk berbuat curang, mereka harus diberi gaji dan
fasilitas yang layak. Kita ketahui bersama bahwa sistem penggajian di Indonesia
khususnya pada tataran staf pelaksana, terutama pada pemerintahan
di daerah masih sangat rendah. Namun ini juga bukan satu-satunya solusi, karena
manusia itu cenderung untuk tidak pernah puas hingga tanah menyumpal mulutnya
(yakni mati). Kita lihat sendiri, betapa banyak para pejabat yang gajinya sudah
banyak tapi tetap saja melakukan korupsi.
Setelah menata sistem penggajian layak, yang harus kita upayakan
selanjutnya penghitungan kekayaan pejabat dan pembuktian terbalik. Orang yang
melakukan korupsi, tentu jumlah kekayaannya akan bertambah dengan cepat. Meski
tidak selalu orang yang cepat kaya pasti karena telah melakukan korupsi. Bisa
saja ia mendapatkan semua kekayaannya itu dari warisan, keberhasilan bisnis
atau cara lain yang halal. Tapi perhitungan kekayaan dan pembuktian terbalik
sebagaimana telah dilakukan oleh Khalifah Umar bin Khattab menjadi cara yang
bagus untuk mencegah korupsi. Semasa menjadi khalifah, Umar menghitung kekayaan
para pejabat di awal dan di akhir jabatannya. Bila terdapat kenaikan yang tidak
wajar, yang bersangkutan, diminta membuktikan bahwa kekayaan yang dimilikinya
itu didapat dengan cara yang halal.
Dari waktu ke waktu kondisi negeri ini seakan makin sesak dengan
banyaknya masalah korupsi dan kolusi, mungkin yang kita butuhkan adalah teladan
dari para pemimpin. Orangtua dulu pernah berpesan ,“Jangan menyapu lantai,
ketika masih membersihkan atap“. Bisa jadi pesan inilah yang perlu diamalkan
oleh pemerintah kita. Pesan ini yang mungkin pas dengan watak masyarakat
Indonesia yang masih cenderung paternalistik, menuntut pemberantasan korupsi
dimulai dari atas. Kalau pemimpinnya memiliki keberanian dan kesungguhan untuk
itu, saya yakin, korupsi dapat ditekan atau dikurangi, bahkan dihilangkan. Jika
pemimpinnya bersih, yang dipimpin juga akan bersih atau setidaknya dapat
diharapkan untuk menjadi bersih.
Dengan beberapa upaya tersebut nantinya bermuara pada kesadaran
kolektif dan lahirnya kontrol publik. Bagaimanapun juga, harus ada kesadaran
kolektif seluruh rakyat negeri ini mengenai pemberantasan korupsi, karena
penyakit ini sudah mewabah dengan hebat. Tidak cukup kesadaran ini hanya
dimiliki oleh segelintir orang saja. Demikian pula, masyarakat harus secara
aktif dan terus-menerus mengontrol para pejabat agar tidak melakukan korupsi.
Dalam hal ini, peran media sangat penting, tanpa harus terkotori oleh berbagai
manipulasi dan akrobat politik. Melalui momentum Idul Fitri ini alangkah lebih
baiknya bila kita benar-benar menjadikan titik balik dalam upaya penanggulangan
dan pemberantasan korupsi. Paling tidak masyarakat kita akan merasa asing
dengan kata yang namanya korupsi dan kolusi, dengan menjauhkan budaya ‘amplop’ dalam kehidupan kita, semoga…!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar