Senin, 16 September 2013

Bencana Kekeringan dan Krisis Air Bersih


Oleh: DIDIK EDI NURAJI, S.Sos, MM
Alumni Pasca Sarjana STIEKN Jayanegara Malang

Kekeringan dan krisis air bersih bukanlah bencana baru yang dihadapi bangsa ini yang datang tiap musim kemarau. Musim kemarau tahun ini baru saja tiba, namun gejala kekeringan dan krisis air bersih mulai terlihat di beberapa daerah di tanah air.  Kekeringan seperti tamu rutin bagi Indonesia. Hampir setiap tahun, bencana kekeringan selalu terjadi di Indonesia. Padahal Indonesia merupakan negara yang (seharusnya) kaya akan air. Meskipun tiap tahun tidak selalu sama, namun curah hujan di Indonesia masih tergolong tinggi. Curah hujan rata-rata tahunan Indonesia mencapai 2.779 mm/tahun. Sungguh ironis bila tiap tahun sebagian masyarakat kita selalu dihadapkan pada kesulitan air bersih.
Permasalahan kekeringan dan krisis air bersih adalah masalah klasik yang selalu ada setiap tahunnya. Meski selalu ada, penanganan yang dilakukan pemerintah hanya bersifat jangka pendek. Dropping air selalu menjadi ujung tombak untuk menyelesaikan kekeringan. Cara itu memang bisa mengatasi persoalan, namun hanya sesaat.

 
Kekeringan memang dipengaruhi oleh berbagai penyebab seperti iklim yang menyebabkan musim kemarau panjang serta tekstur tanah dan topografi. Namun bukan berarti manusia tidak ikut berpengaruh dan membuat perubahan. Faktor vegetasi dan daerah tangkapan air, tata kelola air, dan kearifan dalam memanfaatkan air pun menjadi faktor penentu yang mempengaruhi ketersediaan air.
Potensi curah hujan yang tinggi seharusnya menjadi modal berharga dalam ketahanan air dan mencegah bencana kekeringan di Indonesia. Nyatanya hanya 34% dari total air hujan yang mampu disimpan oleh tanah menjadi air tanah. Sisanya menjadi air limpasan permukaan yang mendatangkan bencana banjir setiap musim penghujan. Giliran ketika musim kemarau tiba, cadangan air yang tidak seberapa itupun segera habis dan mendatangkan bencana kekeringan.
Berbicara masalah air tidak hanya mengenai ketersediaan semata, menjaga kelestarian air juga merupakan langkah penting. Sebenarnya sejumlah program sudah disusun pemerintah pusat. Hanya, hingga kini program tersebut kurang optimal. Salah satu program di daerah yang mungkin perlu ditiru oleh daerah lain yaitu program satu juta lubang biopori di Kota Jogja, yaitu pembuatan sumur resapan di kampung-kampung sebenarnya merupakan langkah yang bagus untuk menjaga ketersediaan air. Sayangnya, program itu kurang maksimal, karena baru di Kota Jogja saja dan belum merata.
Tak hanya itu pemerintah pusat juga harus mengendalikan laju pertumbuhan perumahan di sejumlah kabupaten. Jika tidak, tanah yang berfungsi sebagai daerah resapan lambat laun akan berkurang. Dan yang tak kalah pentingnya, penggunaan air secara bijaksana. Bagaimanapun penghematan air adalah cara terbaik untuk menjaga persediaan air. Jangan menghambur-hamburkan air mulai sekarang, karena anak cucu kita masih membutuhkan air di masa depan.
Jelaslah bahwa bencana kekeringan yang rutin menimpa Indonesia setiap tahunnya lebih karena ketidakmampuan kita dalam mengelola air. Saat musim penghujan kita mengabaikan dalam memanen (menjaga air / menanam air hujan) sehingga kita tidak memiliki tabungan air yang kemudian dapat dimanfaatkan saat musim kemarau tiba.
Perlu dilakukan demistifikasi terhadap kata “kekeringan” karena selama ini dia seolah-olah hadir dan bekerja secara alamiah. Kealamiahan tersebut membentuk tampilan  manipulatif seakan-akan dia bekerja sendiri, sehingga pada akhirnya kondisi tersebut membentuk suatu kebenaran yang harus kita yakini dan sepakati. Sehingga persoalaan “kekeringan” pada akhirnya menjadi persoalan biasa, tidak ada pernah ada usaha-usaha yang bisa menerobos apa yang sebenaranya terjadi di balik “kekeringan”. Lebih menyeramkan lagi hal tersebut termapankan oleh model-model kerja melalui pernyataan-pernyataan yang dikeluarkan oleh aktor-aktor yang pemegang kekuasaan di depan publik, dengan menyatakaan bahwa “kekeringan” merupakan siklus tahunan yang harus kita jalani secara bersama, karena dia hadir secara alamiah dan kita harus menerima kondisi hari ini secara suka rela. Melalui model-model kerja tersebut aktor-aktor tersebut menciptakan suatu kondisi “kekeringan menjadi status quo dan mengingkari tanggung jawab mereka sebagai pemangku kewajiban.
Persoalan kekeringan yang hadir hari ini tidak hanya muncul dari satu persoalan saja tetapi diakibatkan berbagai macam faktor mulai dari persoalan regulasi atau kebijakan pemerintah, privatisai air yang dilakukan oleh para kapitalisme atau pemodal, alih fungsi lahan dan pembalakan liar hutan-hutan. Hal inilah menciptakan situasi hari ini (kekeringan).
Kekeringan tidak hanya mempengaruhi satu dimensi dalam kehidupan, tetapi mempengaruhi multiplisitas dalam kehidupan. Maka dalam situasi yang dihadapkan hari ini, seharusnya pemerintah harus lebih bijaksana menangkap persoalan tersebut dengan membuat program-program yang strategis menyelesaikan bencana kekeringan ini. Jika Pemerintah tidak merespon dengan baik, maka akan memunculkan persoalan baru yang memiliki tingkat kompleksitas lebih tinggi, mulai dari kesehatan, tingkat pengangguran, krisis pangan dan yang paling mengkhawtirkan  akan menimbulkan konflik horizontal bagi masyarakat yang berada pada level bawah untuk berebut air. Kekeringan bukan persoalan sederhana melainkan persoalan struktural yang harus dijawab dengan baik.
Saat ini sepertinya pemerintah pusat hanya menjawab permasalahan tersebut secara sederhana tanpa memikirkan program-program yang strategis dan jangka panjang, dengan hanya menangkap persoalan tersebut di permukaan saja. Hal yang mengkhawatirkan dari hal tersebut, kekeringan jadikan ajang proyek bagi pemerintah untuk mengeluarakan dana-dana, dan yang lebih mengkhawtirkan akan menimbulkan permasalah baru seperti korupsi atau mark up.
Pemerintah pusat mestinya membuat program terpadu atau sustainable development program untuk menyelesaikan bencana kekeringan yang selalu terjadi di daerah-daerah tadah hujan di negeri ini. Pemerintah seharusnya melakukan penghijuan kembali hutan-hutan yang memiliki peran penting untuk menjaga cadangan air, mencegah terjadinya pembalakan liar, izin-izin pertambangan, izin-izin kepemilikan depot-depot air secara pribadi, dan izin ahli fungsi lahan. Pelaksanaan pemenuhan hak atas air kepada rakyat adalah tanggung jawab Pemerintah sebagai pihak pemangku kewajiban. Jika kita menyakini sebuah negara dibentuk untuk melindungi setiap warga negaranya maka sudah seharusnya negeri ini pun melakukan hal itu.
Benar-benar ironis, kita adalah negari berlimpah hujan tapi kita justru yang paling sering mengalami kekeringan. (*)

1 komentar:

  1. sperti mata hati yang sudah "buta" meretakkan isi dunia, dan disitulah Bumiku Menangis

    http://www.google.com/url?sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=3&cad=rja&ved=0CDoQFjAC&url=http%3A%2F%2Fwalhisahabat.blogspot.com%2F2010_11_01_archive.html&ei=RdNtUsj0GIOyrAfinoDgBA&usg=AFQjCNFLCgZFOF_paUDno_s2Y0aX2dGLcA&sig2=ZxwPpssyJUgfLCxrDbmrdw

    let's make a better earth...... Nick here..... *awesome articles, my bro

    BalasHapus