Oleh: DIDIK EDI NURAJI, S.Sos, MM
Alumni
Pasca Sarjana STIEKN Jayanegara Malang
Kekeringan dan krisis air bersih
bukanlah bencana baru yang dihadapi bangsa ini yang datang tiap musim kemarau.
Musim kemarau tahun ini baru saja tiba, namun gejala kekeringan dan krisis air
bersih mulai terlihat di beberapa daerah di tanah air. Kekeringan seperti tamu rutin bagi Indonesia.
Hampir setiap tahun, bencana kekeringan selalu terjadi di Indonesia. Padahal
Indonesia merupakan negara yang (seharusnya) kaya akan air. Meskipun tiap tahun
tidak selalu sama, namun curah hujan di Indonesia masih tergolong tinggi. Curah
hujan rata-rata tahunan Indonesia mencapai 2.779 mm/tahun. Sungguh ironis bila
tiap tahun sebagian masyarakat kita selalu dihadapkan pada kesulitan air
bersih.
Permasalahan kekeringan dan
krisis air bersih adalah masalah klasik yang selalu ada setiap tahunnya. Meski
selalu ada, penanganan yang dilakukan pemerintah hanya bersifat jangka pendek.
Dropping air selalu menjadi ujung tombak untuk menyelesaikan kekeringan. Cara
itu memang bisa mengatasi persoalan, namun hanya sesaat.
Kekeringan memang dipengaruhi
oleh berbagai penyebab seperti iklim yang menyebabkan musim kemarau panjang
serta tekstur tanah dan topografi. Namun bukan berarti manusia tidak ikut
berpengaruh dan membuat perubahan. Faktor vegetasi dan daerah tangkapan air,
tata kelola air, dan kearifan dalam memanfaatkan air pun menjadi faktor penentu
yang mempengaruhi ketersediaan air.
Potensi curah hujan yang tinggi
seharusnya menjadi modal berharga dalam ketahanan air dan mencegah bencana
kekeringan di Indonesia. Nyatanya hanya 34% dari total air hujan yang mampu
disimpan oleh tanah menjadi air tanah. Sisanya menjadi air limpasan permukaan
yang mendatangkan bencana banjir setiap musim penghujan. Giliran ketika musim
kemarau tiba, cadangan air yang tidak seberapa itupun segera habis dan
mendatangkan bencana kekeringan.
Berbicara masalah air tidak hanya
mengenai ketersediaan semata, menjaga kelestarian air juga merupakan langkah
penting. Sebenarnya sejumlah program sudah disusun pemerintah pusat. Hanya,
hingga kini program tersebut kurang optimal. Salah satu program di daerah yang
mungkin perlu ditiru oleh daerah lain yaitu program satu juta lubang biopori di
Kota Jogja, yaitu pembuatan sumur resapan di kampung-kampung sebenarnya
merupakan langkah yang bagus untuk menjaga ketersediaan air. Sayangnya, program
itu kurang maksimal, karena baru di Kota Jogja saja dan belum merata.
Tak hanya itu pemerintah pusat juga
harus mengendalikan laju pertumbuhan perumahan di sejumlah kabupaten. Jika
tidak, tanah yang berfungsi sebagai daerah resapan lambat laun akan berkurang. Dan
yang tak kalah pentingnya, penggunaan air secara bijaksana. Bagaimanapun
penghematan air adalah cara terbaik untuk menjaga persediaan air. Jangan
menghambur-hamburkan air mulai sekarang, karena anak cucu kita masih
membutuhkan air di masa depan.
Jelaslah bahwa bencana kekeringan
yang rutin menimpa Indonesia setiap tahunnya lebih karena ketidakmampuan kita
dalam mengelola air. Saat musim penghujan kita mengabaikan dalam memanen
(menjaga air / menanam air hujan) sehingga kita tidak memiliki tabungan air
yang kemudian dapat dimanfaatkan saat musim kemarau tiba.
Perlu dilakukan demistifikasi
terhadap kata “kekeringan” karena selama ini dia seolah-olah hadir dan bekerja
secara alamiah. Kealamiahan tersebut membentuk tampilan manipulatif seakan-akan dia bekerja sendiri,
sehingga pada akhirnya kondisi tersebut membentuk suatu kebenaran yang harus
kita yakini dan sepakati. Sehingga persoalaan “kekeringan” pada akhirnya
menjadi persoalan biasa, tidak ada pernah ada usaha-usaha yang bisa menerobos
apa yang sebenaranya terjadi di balik “kekeringan”. Lebih menyeramkan lagi hal
tersebut termapankan oleh model-model kerja melalui pernyataan-pernyataan yang
dikeluarkan oleh aktor-aktor yang pemegang kekuasaan di depan publik, dengan
menyatakaan bahwa “kekeringan” merupakan siklus tahunan yang harus kita jalani
secara bersama, karena dia hadir secara alamiah dan kita harus menerima kondisi
hari ini secara suka rela. Melalui model-model kerja tersebut aktor-aktor
tersebut menciptakan suatu kondisi “kekeringan menjadi status quo dan mengingkari
tanggung jawab mereka sebagai pemangku kewajiban.
Persoalan kekeringan yang hadir
hari ini tidak hanya muncul dari satu persoalan saja tetapi diakibatkan
berbagai macam faktor mulai dari persoalan regulasi atau kebijakan pemerintah,
privatisai air yang dilakukan oleh para kapitalisme atau pemodal, alih fungsi
lahan dan pembalakan liar hutan-hutan. Hal inilah menciptakan situasi hari ini
(kekeringan).
Kekeringan tidak hanya
mempengaruhi satu dimensi dalam kehidupan, tetapi mempengaruhi multiplisitas
dalam kehidupan. Maka dalam situasi yang dihadapkan hari ini, seharusnya pemerintah
harus lebih bijaksana menangkap persoalan tersebut dengan membuat
program-program yang strategis menyelesaikan bencana kekeringan ini. Jika
Pemerintah tidak merespon dengan baik, maka akan memunculkan persoalan baru
yang memiliki tingkat kompleksitas lebih tinggi, mulai dari kesehatan, tingkat
pengangguran, krisis pangan dan yang paling mengkhawtirkan akan menimbulkan konflik horizontal bagi
masyarakat yang berada pada level bawah untuk berebut air. Kekeringan bukan
persoalan sederhana melainkan persoalan struktural yang harus dijawab dengan
baik.
Saat ini sepertinya pemerintah
pusat hanya menjawab permasalahan tersebut secara sederhana tanpa memikirkan
program-program yang strategis dan jangka panjang, dengan hanya menangkap
persoalan tersebut di permukaan saja. Hal yang mengkhawatirkan dari hal
tersebut, kekeringan jadikan ajang proyek bagi pemerintah untuk mengeluarakan
dana-dana, dan yang lebih mengkhawtirkan akan menimbulkan permasalah baru
seperti korupsi atau mark up.
Pemerintah pusat mestinya membuat
program terpadu atau sustainable development program untuk menyelesaikan
bencana kekeringan yang selalu terjadi di daerah-daerah tadah hujan di negeri
ini. Pemerintah seharusnya melakukan penghijuan kembali hutan-hutan yang
memiliki peran penting untuk menjaga cadangan air, mencegah terjadinya
pembalakan liar, izin-izin pertambangan, izin-izin kepemilikan depot-depot air
secara pribadi, dan izin ahli fungsi lahan. Pelaksanaan pemenuhan hak atas air
kepada rakyat adalah tanggung jawab Pemerintah sebagai pihak pemangku kewajiban.
Jika kita menyakini sebuah negara dibentuk untuk melindungi setiap warga negaranya
maka sudah seharusnya negeri ini pun melakukan hal itu.
Benar-benar ironis, kita adalah negari berlimpah hujan tapi kita justru yang
paling sering mengalami kekeringan.
(*)
sperti mata hati yang sudah "buta" meretakkan isi dunia, dan disitulah Bumiku Menangis
BalasHapushttp://www.google.com/url?sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=3&cad=rja&ved=0CDoQFjAC&url=http%3A%2F%2Fwalhisahabat.blogspot.com%2F2010_11_01_archive.html&ei=RdNtUsj0GIOyrAfinoDgBA&usg=AFQjCNFLCgZFOF_paUDno_s2Y0aX2dGLcA&sig2=ZxwPpssyJUgfLCxrDbmrdw
let's make a better earth...... Nick here..... *awesome articles, my bro