DIDIK
EDI NURAJI, S.Sos, MM.
Alumni Pasca Sarjana STIEKN Jayanegara
Malang
Dunia hukum di Indonesia tak pernah
sepi dari permasalahan pelik. Masih sangat berbekas di ingatan kita ketika
pengadilan tindak pidana korupsi (tipikor) di beberapa daerah ramai-ramai
memutus bebas banyak terdakwa korupsi. Tak berselang lama kemudian terdengar
kabar ada hakim tipikor yang tertangkap tangan menerima suap. Dan yang terkini,
petinggi MK (AM) bersama empat orang lainnya tertangkap dalam operasi tangkap
tangan (OTT) oleh KPK karena diduga melakukan tindak pidana korupsi/gratifikasi
yang dilakukan terkait dengan sengketa pilkada di Gunung Mas Kalimantan Tengah.
Mencuatnya berita tentang tertangkap
tangannya petinggi MK seakan menyentak rakyat Indonesia. Bagaimana tidak,
Mahkamah Konstitusi yang pernah mendeklarasikan gerakan anti korupsi dan pernah
menyatakan sebagai lembaga zona bebas korupsi ternyata malah petinggi di
lembaga tersebut beberapa waktu lalu
tertangkap tangan diduga melakukan tindak pidana korupsi. Kita semua masih
ingat ketika rakyat Indonesia beberapa waktu lalu menyebut Mahkamah Konstitusi
sebagai salah satu lembaga hukum yang masih bisa diharapkan dalam upaya
penegakan hukum di Indonesia selain KPK.
Namun seiring meruaknya kabar tertangkap
tangannya petinggi MK tersebut bukan hanya mengikis kepercayaan publik, tapi
lebih dari itu, peristiwa tersebut seakan meruntuhkan kepercayaan rakyat
Indonesia terhadap wibawa hukum di Indonesia. Tertangkapnya AM seakan mencoreng
keberadaan MK selama ini sebagai penengah dan pemutus sengketa pilkada.
Selama ini Mahkamah Konstitusi
memberikan warna tersendiri terhadap perkembangan ketatanegaraan Indonesia.
Amandemen UUD 1945 menjadikan hukum tata negara Indonesia berubah secara
signifikan. Mahkamah Konstitusi telah memberikan kontribusi yang besar terhadap
perkembangan Hukum Tata Negara Indonesia. Lembaga ini menunjukkan peranan
strategisnya, termasuk menunjang kepemimpinan yang sesuai Dengan UUD 1945.
Walaupun sebagai lembaga peradilan tingkat pertama dan terakhir memunculkan
kekhawatiran bahwa lembaga ini menjelma menjadi superbody. Di negara demokrasi,
tidak baik jika terdapat lembaga yang super karena superioritas cenderung
menciptakan penyalahgunaan kekuasaan. Kita tidak ingin MK menjadi seperti itu
sehingga mengurangi peran strategis yang selama ini dimiliki.
Eksistensi MK membawa suasana baru
dalam sistem ketatanegaraan Indonesia dalam upaya menciptakan proses peradilan
yang cepat,murah dan transparan. MK memiliki peranan yang sangat strategis.
Apalagi saat ini MK memiliki kewenangan menyelesaikan sengketa Pilkada disegala
tingkatan (provinsi,kabupaten,kota). Peran strategis yang lain bahwa MK-RI
memiliki lima fungsi “the guardian” serta kewenangan yang khas pula yang
mungkin tidak dimiliki oleh MK negara lain. Namun ada juga yang mengkhawatirkan
MK menjelma menjadi lembaga superior.
Kewenangan Mahkamah Konstitusi (MK)
sebagai lembaga yang berkedudukan sebagai lembaga tinggi Negara atau sebagai
lembaga peradilan tata negara (Constitutional Court) seperti, mengadili pada
tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji
terhadap undang-undang (Judicial Review), memutus sengketa kewenangan lembaga
negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD ( Pasal 24C ayat (1), memutus pembubaran
Partai Politik hingga memutus perselisihan hasil Pemilihan Umum ( Pasal 24C
ayat (1), serta beberapa kewenangan strategis lainnya memang sangat rentan
godaan iming-iming materi, oleh karenanya, para hakim MK harus benar-benar
memiliki moral terbaik.
Kasus tertangkap tangannya AM ini
mungkin sebagai dari potret dan bisa dijadikan cermin dunia para hakim. Sebagai
pemutus perkara, setiap putusannya adalah cerminan dari kredibilitas,
kapabilitas, dan integritasnya sebagai seorang hakim. Seorang hakim bukan
sekadar corong dari sebuah undang-undang. Ia juga menjadi pembuat atau
pembentuk hukum (judge made law). Maka, tugas hakim yang sebenarnya adalah
menjamin tercapainya kebenaran dan keadilan atas penerapan sebuah aturan.
Banyaknya penegak hukum yang tersangkut
tindak pidana suap/gratifikasi sekan menjadi potret buram penegak hukum di
Indonesia. Berbicara tentang runtuhnya wibawa hukum tidak pernah lepas dari
moral dan perilaku penegak hukum itu sendiri. Almarhum Baharudin Lopa dalam
bukunya kejahatan korupsi dan penegakkan hukum, menjelaskan hukum tidak mungkin
dapat berjalan dengan baik dan mementukan kerjanya tanpa moral yang baik. Tanpa
moral kita mungkin bisa bermain dengan nafsu dan keegoisan kita sendiri,
makanya dibentengi oleh nilai moral yang harus dijaga yang didalamnya terdapat
sifat-sifat mulia, didalam moral ada nilai-nilai agama, dan nilai agama hanya
ada nilai positif oleh karan itu pentingnya ada moral dalam diri tiap orang.
Pada akhirnya seorang hakim dituntut
untuk menjaga kehormatan dan keluhuran martabatnya dengan mencerminkan sikap
dan perilaku yang berbudi pekerti luhur. Karena itulah profesi hakim adalah
profesi yang terhormat (officium nobile), bahkan profesi yang mulia.
Pencarian dan proses keadilan bagi
masyarakat yang memerlukannya diserahkan kepada lembaga tertentu yang
berwenang. Pengadilan merupakan salah satu tumpuan dalam menyelesaikan sengketa
para pihak, ia bertugas sebagai lembaga yang menerima, memeriksa dan mengadili
serta menyelesaikan setiap perkara yang diajukan kepadanya. Sayangnya
masyarakat yang datang ke Pengadilan bukan lagi semata untuk mendapatkan
keadilan, tetapi untuk menang.
Untuk memperoleh kemenangan tersebut
tidak jarang masyarakat kita menempuh segala cara termasuk dengan jalan
menggoda para hakim (pelaksana hukum) untuk memenangkannya dalam proses hukum
yang dijalani.
Karena itu, supremasi hukum di
Indonesia harus benar-benar tegak. Hukum harus menjadi panglima, yang disertai
dengan para insane hukum yang memiliki integritas dan moral yang tinggi.
Sehingga peradilan sebagai tempat terakhir (the last resort) dalam menegakkan
kebenaran dan keadilan menempatkan peradilan sebagai tempat terakhir akan
terwujud dan hukum benar-benar akan dijadikan sebagai panglima. Jangan sampai
moral buruk para pelaksana hukum terus menggerogoti dan meruntuhkan hukum di
negara kita ini. Rakyat boleh merasa lelah dengan banyak menyaksikan penyelewengan
kekuasaan, tapi kepercayaan terhadap institusi hukum harus terjaga, untuk
mewujudkan supremasi hukum di Indonesia tercinta, amin…!. (*)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar