Senin, 07 Oktober 2013

Runtuhnya Wibawa Hukum dan Hakim

DIDIK EDI NURAJI, S.Sos, MM.
Alumni Pasca Sarjana STIEKN Jayanegara Malang

Dunia hukum di Indonesia tak pernah sepi dari permasalahan pelik. Masih sangat berbekas di ingatan kita ketika pengadilan tindak pidana korupsi (tipikor) di beberapa daerah ramai-ramai memutus bebas banyak terdakwa korupsi. Tak berselang lama kemudian terdengar kabar ada hakim tipikor yang tertangkap tangan menerima suap. Dan yang terkini, petinggi MK (AM) bersama empat orang lainnya tertangkap dalam operasi tangkap tangan (OTT) oleh KPK karena diduga melakukan tindak pidana korupsi/gratifikasi yang dilakukan terkait dengan sengketa pilkada di Gunung Mas Kalimantan Tengah.
Mencuatnya berita tentang tertangkap tangannya petinggi MK seakan menyentak rakyat Indonesia. Bagaimana tidak, Mahkamah Konstitusi yang pernah mendeklarasikan gerakan anti korupsi dan pernah menyatakan sebagai lembaga zona bebas korupsi ternyata malah petinggi di lembaga tersebut  beberapa waktu lalu tertangkap tangan diduga melakukan tindak pidana korupsi. Kita semua masih ingat ketika rakyat Indonesia beberapa waktu lalu menyebut Mahkamah Konstitusi sebagai salah satu lembaga hukum yang masih bisa diharapkan dalam upaya penegakan hukum di Indonesia selain KPK.

Namun seiring meruaknya kabar tertangkap tangannya petinggi MK tersebut bukan hanya mengikis kepercayaan publik, tapi lebih dari itu, peristiwa tersebut seakan meruntuhkan kepercayaan rakyat Indonesia terhadap wibawa hukum di Indonesia. Tertangkapnya AM seakan mencoreng keberadaan MK selama ini sebagai penengah dan pemutus sengketa pilkada.
Selama ini Mahkamah Konstitusi memberikan warna tersendiri terhadap perkembangan ketatanegaraan Indonesia. Amandemen UUD 1945 menjadikan hukum tata negara Indonesia berubah secara signifikan. Mahkamah Konstitusi telah memberikan kontribusi yang besar terhadap perkembangan Hukum Tata Negara Indonesia. Lembaga ini menunjukkan peranan strategisnya, termasuk menunjang kepemimpinan yang sesuai Dengan UUD 1945. Walaupun sebagai lembaga peradilan tingkat pertama dan terakhir memunculkan kekhawatiran bahwa lembaga ini menjelma menjadi superbody. Di negara demokrasi, tidak baik jika terdapat lembaga yang super karena superioritas cenderung menciptakan penyalahgunaan kekuasaan. Kita tidak ingin MK menjadi seperti itu sehingga mengurangi peran strategis yang selama ini dimiliki.
Eksistensi MK membawa suasana baru dalam sistem ketatanegaraan Indonesia dalam upaya menciptakan proses peradilan yang cepat,murah dan transparan. MK memiliki peranan yang sangat strategis. Apalagi saat ini MK memiliki kewenangan menyelesaikan sengketa Pilkada disegala tingkatan (provinsi,kabupaten,kota). Peran strategis yang lain bahwa MK-RI memiliki lima fungsi “the guardian” serta kewenangan yang khas pula yang mungkin tidak dimiliki oleh MK negara lain. Namun ada juga yang mengkhawatirkan MK menjelma menjadi lembaga superior.
Kewenangan Mahkamah Konstitusi (MK) sebagai lembaga yang berkedudukan sebagai lembaga tinggi Negara atau sebagai lembaga peradilan tata negara (Constitutional Court) seperti, mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji terhadap undang-undang (Judicial Review), memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD ( Pasal 24C ayat (1), memutus pembubaran Partai Politik hingga memutus perselisihan hasil Pemilihan Umum ( Pasal 24C ayat (1), serta beberapa kewenangan strategis lainnya memang sangat rentan godaan iming-iming materi, oleh karenanya, para hakim MK harus benar-benar memiliki moral terbaik.
Kasus tertangkap tangannya AM ini mungkin sebagai dari potret dan bisa dijadikan cermin dunia para hakim. Sebagai pemutus perkara, setiap putusannya adalah cerminan dari kredibilitas, kapabilitas, dan integritasnya sebagai seorang hakim. Seorang hakim bukan sekadar corong dari sebuah undang-undang. Ia juga menjadi pembuat atau pembentuk hukum (judge made law). Maka, tugas hakim yang sebenarnya adalah menjamin tercapainya kebenaran dan keadilan atas penerapan sebuah aturan.
Banyaknya penegak hukum yang tersangkut tindak pidana suap/gratifikasi sekan menjadi potret buram penegak hukum di Indonesia. Berbicara tentang runtuhnya wibawa hukum tidak pernah lepas dari moral dan perilaku penegak hukum itu sendiri. Almarhum Baharudin Lopa dalam bukunya kejahatan korupsi dan penegakkan hukum, menjelaskan hukum tidak mungkin dapat berjalan dengan baik dan mementukan kerjanya tanpa moral yang baik. Tanpa moral kita mungkin bisa bermain dengan nafsu dan keegoisan kita sendiri, makanya dibentengi oleh nilai moral yang harus dijaga yang didalamnya terdapat sifat-sifat mulia, didalam moral ada nilai-nilai agama, dan nilai agama hanya ada nilai positif oleh karan itu pentingnya ada moral dalam diri tiap orang.
Pada akhirnya seorang hakim dituntut untuk menjaga kehormatan dan keluhuran martabatnya dengan mencerminkan sikap dan perilaku yang berbudi pekerti luhur. Karena itulah profesi hakim adalah profesi yang terhormat (officium nobile), bahkan profesi yang mulia.
Pencarian dan proses keadilan bagi masyarakat yang memerlukannya diserahkan kepada lembaga tertentu yang berwenang. Pengadilan merupakan salah satu tumpuan dalam menyelesaikan sengketa para pihak, ia bertugas sebagai lembaga yang menerima, memeriksa dan mengadili serta menyelesaikan setiap perkara yang diajukan kepadanya. Sayangnya masyarakat yang datang ke Pengadilan bukan lagi semata untuk mendapatkan keadilan, tetapi untuk menang.
Untuk memperoleh kemenangan tersebut tidak jarang masyarakat kita menempuh segala cara termasuk dengan jalan menggoda para hakim (pelaksana hukum) untuk memenangkannya dalam proses hukum yang dijalani.
Karena itu, supremasi hukum di Indonesia harus benar-benar tegak. Hukum harus menjadi panglima, yang disertai dengan para insane hukum yang memiliki integritas dan moral yang tinggi. Sehingga peradilan sebagai tempat terakhir (the last resort) dalam menegakkan kebenaran dan keadilan menempatkan peradilan sebagai tempat terakhir akan terwujud dan hukum benar-benar akan dijadikan sebagai panglima. Jangan sampai moral buruk para pelaksana hukum terus menggerogoti dan meruntuhkan hukum di negara kita ini. Rakyat boleh merasa lelah dengan banyak menyaksikan penyelewengan kekuasaan, tapi kepercayaan terhadap institusi hukum harus terjaga, untuk mewujudkan supremasi hukum di Indonesia tercinta, amin…!. (*)
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar