Senin, 07 Oktober 2013

Siaga Satu, Perkuliahan Awu-awu



DIDIK EDI NURAJI, S.Sos, MM.
Alumni Pasca Sarjana STIEKN Jayanegara Malang



Dunia pendidikan di negeri saat ini makin banyak persoalan yang membutuhkan perhatian serius dari pemerintah. Bukan hanya masalah tingginya biaya pendidikan namun kualitas pendidikan juga banyak menjadi sorotan, terutama pada pendidikan tinggi seiring dengan masih adanya perkuliahan kelas jauh (kuliah jarak jauh) yang disiasati seperti kelas reguler (formal) dengan mengesampingkan peningkatan kualitas pendidikan.
Dalam sebuah anekdot dikatakan, saat ini pendidikan tinggi dijadikan ajang bisnis. Sah-sah saja dijadikan bisnis, namun harus tetap menjunjung tinggi kaidah pendidikan dengan tetap memperhatikan peningkatan kualitas pendidikan. Namun tidak sedikit yang terjadi di perguruan tinggi di kota besar ataupun yang di daerah, kualitas tidak lagi menjadi perhatian, fasilitas dan sumber daya pengajar tidak jadi ukuran, yang penting mahasiswa membayar dan mendapat ijasah serta pengelola bisa meraup rupiah, masalah kualitas nomor sekian.

Kegemaran mendirikan pendidikan tinggi (kelas jauh), kini menjadi momok yang mencabik-cabik nurani. Ibarat lingkaran setan, sementara DIKTI melarang adanya kelas jauh, di lapangan terus bermunculan dengan berbagai dalih dan alasan. Kebijakan kadang bertolak belakang dengan kenyataan, sehingga muncul pertanyaan mau dibawa kemana pendidikan negeri ini.
Dengan dilarangnya kelas jauh, ternyata tidak membuat para sebagian pelaku  pendidikan yang nakal kehilangan akal. Alih-alih kelas reguler, dengan absensi dan sistem perkuliahan yang dibuat sedemikian rupa, namun perkuliahannya tetap dilakukan diluar kampus induk dengan dosen ala kadarnya. Adanya larangan kuliah kelas jauh seakan membuat praktik kuliah kelas jauh bereinkarnasi dalam bentuk kuliah reguler (formal) meski hanya awu-awu saja.  Praktik perkuliahan kelas jauh seperti itu dengan segala siasatnya ada karena ada mahasiswa yang membutuhkan dari praktik seperti itu. Selama ada yang membutuhkan dan yang dibutuhkan selama itu pula praktik perkuliahan seperti ini sulit untuk dihilangkan, terkecuali pemerintah membuat regulasi yang tegas dan keras terhadap sistem perkuliahan seperti ini.
Dengan perkuliahan yang hanya dilakukan beberapa jam di hari Sabtu dan Minggu, bagaimana akan berbicara tentang kualitas pendidikan? Jika bidang keilmuan yang diberikan bersifat naratif, yaitu ilmu bisa diterima dengan hanya memahami dari membaca diktat, mungkin mutu lulusan tidak jauh dibawah dengan kuliah formal, tapi bagaimana jika bidang keilmuan yang ditempuh mengharuskan adanya pengimplementasian ilmu dengan praktek, tidak sekedar mengawang, apakah sistem perkuliahan semacam ini masih logis untuk dijalankan?, mengingat model perkuliahan semacam ini, memiliki keterbatasan dalam penyediaan fasilitas penunjang, pun pengajarnya yang biasanya direkrut dari guru-guru sekolah biasa, bukan dari induk yang mengadakan program ini.
Bukan itu saja, ada beberapa kejanggalan yang ditemui berkaitan dengan program kuliah kelas jauh ini, diantaranya, adanya praktek jual beli ijazah, karena ada beberapa program kuliah kelas jauh yang sifatnya joint partnership antara perguruan tinggi dengan pengelola di daerah tempat program kuliah jarak jauh dilaksanakan, dimana pengelolah  diberi kewenangan mengelolah penuh perkuliahan, sehingga bisa sewaktu-waktu menerima mahasiswa, dengan hanya mengisi daftar absen selama masa kuliah, dan membayar biaya perkuliahan, maka tidak berapa lama ijazah dari lembaga induk akan keluar, entah bagaimana caranya.
Dalam prakteknya, kelas jauh ini kerap memasang iming-iming yang sangat menggiurkan kepada calon mahasiswa yang dibidik. Diantaranya, biaya kuliah murah, jam kuliah rata-rata dilaksanakan akhir pekan, dan gampang lulus atau mudah menyelesaikan program sarjana. Biasanya, kelas jauh ini dijalankan dengan meminjam ruko atau gedung-gedung sekolah di sebuah daerah. Tidak ada satupun karyawan dari perguruan tinggi yang menjalankan kelas jauh. Begitu pula dengan perpustakaan dan sarana penelitian lainnya.
Kelas jauh atau kuliah sabtu minggu sebenarnya bisa saja dilaksanakan di Indonesia, namun dengan sistem perkuliahan yang harus lebih berat dan lebih lama dibandingkan dengan perkuliahan reguler. Karena secara logika, kuliah untuk S1 reguler yang biasanya  memakan waktu sekitar empat tahun, dengan perkuliahan sabtu minggu sudah sepantasnyalah waktu tempuh pendidikan yang lebih lama dan lebih komprehensif, bukan malah waktu tempuhnya sama atau malah yang lebih celakanya kuliah sabtu minggu lebih pendek waktu tempuh perkuliahannya dibandingkan dengan perkuliahan reguler, ironis.
Untuk itu, dengan tidak mengurangi penghargaan yang besar bagi lembaga pendidikan yang berdedikasi mencerdaskan bangsa dengan menggelar perkuliahan dengan metode jarak jauh, perlu dikoreksi kembali program seperti ini, dengan tujuan, agar tidak ada penyusupan dari pihak-pihak yang berorientasi profit dengan “menjual” pendidikan, apalagi tidak memikirkan mutu lulusan yang dihasilkan, dan parahnya ada yang berani menggelarnya tanpa izin, sehingga program yang mulia ini, mempunyai celah dijadikan tunggangan oleh pihak yang hanya mencari keuntungan dengan menyelewengkan fungsi kuliah semacam ini.
Mungkin ada baiknya kita mengintip perkuliahan di beberapa Negara di Eropa. Di benua biru tersebut kelas jauh malah menjadi solusi untuk meningkatkan kualitas pendidikan mereka. Mereka melarang mendirikan pendidikan tinggi tanpa kualitas dan minim fasilitas, sehingga kelas jauh menjadi alternatif.
Cara mereka mengelola kelas jauh tentu dapat dilihat sebagai strategi pengembangan pendidikan tinggi di negeri kita ke depan. Penggunaan tekhnologi komunikasi seperti internet menjadi penting dan mutlak dibutuhkan. Pengajaran jarak jauh dengan menggunakan metode teleconfrance yang menghubungkan mahasiswa dari beberapa tempat yang berbeda jelas menjadi solusi dalam menjaga mutu dan kualitas lulusan, disertai dengan fasilitas kampus, tempat praktik/penelitian hingga perpustakaan. Kendati bernama kelas jauh, namun perkuliahannya tidak seperti kelas jauh Sabtu Minggu yang banyak terjadi di negeri ini.
Seluruh komponen pendidikan tinggi di negeri ini, mari kita ayunkan langkah dalam satu tujuan, berjalan seiring dalam upaya meningkatkan kualitas pendidikan tinggi di Indonesia. Semoga segera lahir kontrol yang lebih ketat terhadap sistem pendidikan tinggi kita dengan persyaratan yang memadai, dan berjalan dengan  pengawasan yang berkesinambungan dari pihak terkait, sehingga kualitas pendidikan di negeri ini tidak tertinggal jauh dari pendidikan di negara-negara lain, amin... (*)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar