DIDIK
EDI NURAJI, S.Sos, MM.
Alumni Pasca Sarjana STIEKN Jayanegara
Malang
Dunia pendidikan di negeri saat ini makin banyak persoalan yang
membutuhkan perhatian serius dari pemerintah. Bukan hanya masalah tingginya
biaya pendidikan namun kualitas pendidikan juga banyak menjadi sorotan,
terutama pada pendidikan tinggi seiring dengan masih adanya perkuliahan kelas jauh (kuliah
jarak jauh) yang disiasati seperti kelas reguler (formal) dengan mengesampingkan peningkatan
kualitas pendidikan.
Dalam
sebuah anekdot dikatakan, saat
ini pendidikan tinggi dijadikan ajang bisnis. Sah-sah saja dijadikan bisnis,
namun harus tetap menjunjung tinggi kaidah pendidikan dengan tetap
memperhatikan peningkatan kualitas pendidikan. Namun tidak sedikit yang terjadi
di perguruan tinggi di kota besar ataupun yang di daerah, kualitas tidak lagi
menjadi perhatian, fasilitas dan sumber daya pengajar tidak jadi ukuran, yang
penting mahasiswa membayar dan
mendapat ijasah serta pengelola bisa meraup rupiah, masalah kualitas nomor sekian.
Kegemaran mendirikan pendidikan
tinggi (kelas jauh), kini menjadi momok yang mencabik-cabik nurani. Ibarat
lingkaran setan, sementara DIKTI melarang adanya kelas jauh, di lapangan terus
bermunculan dengan berbagai dalih dan alasan. Kebijakan kadang bertolak
belakang dengan kenyataan, sehingga muncul pertanyaan mau dibawa kemana
pendidikan negeri ini.
Dengan dilarangnya kelas jauh, ternyata tidak membuat para sebagian pelaku pendidikan yang nakal kehilangan akal.
Alih-alih kelas reguler, dengan absensi dan sistem perkuliahan yang dibuat
sedemikian rupa, namun perkuliahannya tetap dilakukan diluar kampus induk dengan
dosen ala kadarnya. Adanya larangan kuliah kelas jauh seakan membuat praktik
kuliah kelas jauh bereinkarnasi dalam bentuk kuliah reguler (formal) meski
hanya awu-awu saja. Praktik perkuliahan
kelas jauh seperti itu
dengan segala siasatnya ada karena ada mahasiswa yang membutuhkan dari praktik
seperti itu. Selama ada yang membutuhkan
dan yang dibutuhkan
selama itu pula praktik perkuliahan seperti ini sulit untuk dihilangkan,
terkecuali pemerintah membuat regulasi yang tegas dan keras terhadap sistem
perkuliahan seperti ini.
Dengan perkuliahan yang hanya
dilakukan beberapa jam di hari Sabtu dan Minggu, bagaimana akan berbicara
tentang kualitas pendidikan? Jika bidang keilmuan yang diberikan bersifat
naratif, yaitu ilmu bisa diterima dengan hanya memahami dari membaca diktat,
mungkin mutu lulusan tidak jauh dibawah dengan kuliah formal, tapi bagaimana
jika bidang keilmuan yang ditempuh mengharuskan adanya pengimplementasian ilmu
dengan praktek, tidak sekedar mengawang, apakah sistem perkuliahan semacam ini
masih logis untuk dijalankan?, mengingat model perkuliahan semacam ini,
memiliki keterbatasan dalam penyediaan fasilitas penunjang, pun pengajarnya
yang biasanya direkrut dari guru-guru sekolah biasa, bukan dari induk yang
mengadakan program ini.
Bukan itu saja, ada beberapa
kejanggalan yang ditemui berkaitan dengan program kuliah kelas jauh ini,
diantaranya, adanya praktek jual beli ijazah, karena ada beberapa program
kuliah kelas jauh yang sifatnya joint partnership antara perguruan tinggi
dengan pengelola di daerah tempat program kuliah jarak jauh dilaksanakan,
dimana pengelolah diberi kewenangan mengelolah penuh perkuliahan,
sehingga bisa sewaktu-waktu menerima mahasiswa, dengan hanya mengisi daftar
absen selama masa kuliah, dan membayar biaya perkuliahan, maka tidak berapa
lama ijazah dari lembaga induk akan keluar, entah bagaimana caranya.
Dalam prakteknya, kelas jauh ini
kerap memasang iming-iming yang sangat menggiurkan kepada calon mahasiswa yang
dibidik. Diantaranya, biaya kuliah murah, jam kuliah rata-rata dilaksanakan
akhir pekan, dan gampang lulus atau mudah menyelesaikan program sarjana.
Biasanya, kelas jauh ini dijalankan dengan meminjam ruko atau gedung-gedung
sekolah di sebuah daerah. Tidak ada satupun karyawan dari perguruan tinggi yang
menjalankan kelas jauh. Begitu pula dengan perpustakaan dan sarana penelitian
lainnya.
Kelas jauh atau kuliah sabtu
minggu sebenarnya bisa saja dilaksanakan di Indonesia, namun dengan sistem
perkuliahan yang harus lebih berat dan lebih lama dibandingkan dengan
perkuliahan reguler. Karena secara logika, kuliah untuk S1 reguler yang
biasanya memakan waktu sekitar empat
tahun, dengan perkuliahan sabtu minggu sudah sepantasnyalah waktu tempuh
pendidikan
yang lebih lama dan lebih komprehensif, bukan malah waktu tempuhnya sama atau malah yang lebih
celakanya kuliah sabtu minggu lebih pendek waktu tempuh perkuliahannya
dibandingkan dengan perkuliahan reguler, ironis.
Untuk itu, dengan tidak
mengurangi penghargaan yang besar bagi lembaga pendidikan yang berdedikasi
mencerdaskan bangsa dengan menggelar perkuliahan dengan metode jarak jauh,
perlu dikoreksi kembali program seperti ini, dengan tujuan, agar tidak ada
penyusupan dari pihak-pihak yang berorientasi profit dengan “menjual”
pendidikan, apalagi tidak memikirkan mutu lulusan yang dihasilkan, dan parahnya
ada yang berani menggelarnya tanpa izin, sehingga program yang mulia ini, mempunyai
celah dijadikan tunggangan oleh pihak yang hanya mencari keuntungan dengan
menyelewengkan fungsi kuliah semacam ini.
Mungkin
ada baiknya kita mengintip perkuliahan di beberapa Negara di Eropa. Di benua
biru tersebut kelas
jauh malah menjadi solusi untuk meningkatkan kualitas pendidikan mereka. Mereka
melarang mendirikan pendidikan tinggi tanpa kualitas dan minim fasilitas,
sehingga kelas jauh menjadi alternatif.
Cara mereka mengelola kelas jauh
tentu dapat dilihat sebagai strategi pengembangan pendidikan tinggi di negeri
kita ke depan. Penggunaan tekhnologi komunikasi seperti internet menjadi
penting dan mutlak dibutuhkan. Pengajaran
jarak jauh dengan menggunakan metode teleconfrance yang menghubungkan mahasiswa
dari beberapa tempat yang berbeda jelas menjadi solusi dalam menjaga mutu dan
kualitas lulusan, disertai dengan fasilitas kampus, tempat
praktik/penelitian hingga perpustakaan. Kendati bernama kelas jauh, namun perkuliahannya
tidak seperti kelas jauh Sabtu Minggu yang banyak terjadi di negeri ini.
Seluruh
komponen pendidikan tinggi di negeri ini, mari kita ayunkan langkah dalam satu tujuan, berjalan
seiring dalam upaya meningkatkan kualitas pendidikan tinggi di Indonesia. Semoga segera lahir kontrol yang lebih
ketat terhadap sistem pendidikan tinggi kita dengan persyaratan yang
memadai, dan berjalan dengan pengawasan yang berkesinambungan dari pihak
terkait, sehingga kualitas pendidikan di negeri ini tidak tertinggal jauh dari
pendidikan di negara-negara lain, amin... (*)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar