Senin, 07 Oktober 2013

Fenomena Industri MIGAS Nasional



Oleh : DIDIK EDI NURAJI, S.Sos, MM
Alumni Pasca Sarjana STIEKN Jayanegara Malang

Sejarah eksplorasi dan eksploitasi pengelolaan kekayaan bumi kita, khususnya minyak dan gas bumi (MIGAS) cukup panjang. Dengan perjalanan yang cukup panjang namun kini, kemandirian dalam pengelolaan MIGAS nasional tak bisa kita capai. Apa yang salah dengan pengelolaan Migas nasional?
Dalam kurun waktu perjalanan panjang pengelolaan industri Migas nasional hingga tahun 2013 ini diketahui bahwa ternyata sekitar 74% wilayah kerja produksi Migas di Indonesia masih dikelola pihak asing. Dari 279 blok migas di Indonesia, hanya 72 blok yang dikuasai oleh Negara ( 25 % ) , selebihnya sebanyak 207 blok migas (75%) masih didominasi oleh pihak swasta yang hampir seluruhnya dipegang oleh perusahaan asing seperti Chevron, Total, Hess, Petrochina, Cnooc, dll.

Chevron perusahaan asing dari Amerika yang dalam satu hari berhasil memproduksi 476 MBPD , sedangkan Pertamina dengan produksi minyak mentah sebesar 135,6 MBPD menempati posisi kedua, diikuti beberapa perusahaan asing lainnya.
Sedangkan untuk produksi gas di Indonesia, tertinggi masih dipegang oleh Total yaitu perusahaan asing dari Perancis, dalam satu hari berhasil memproduksi 2.300 MMSCFD, di posisi kedua ditempati pertamina dengan produksi gas sebesar 1.107 MMSCFD.
Aneh bukan,,? Di Negara sendiri, produksi tertinggi minyak dan gas dipegang oleh perusahaan asing…. Begitu parahnya pengelolaan industri MIGAS Indonesia. Padahal, Indonesia pernah dalam posisi menjadi salah satu negara pengekspor MIGAS penting dunia, bahkan pernah menduduki kursi tertinggi OPEC/Orgniasasi Negara-negara Pengekspor MIGAS selama beberapa periode. Apa yang salah dalam pengelolaan MIGAS kita? Sehingga kini, buah nestapa yang kita nikmati dan melampaui titik balik, menjadi importir netto MIGAS serta harus keluar dari OPEC.
Hingga tahun 2013 ini sudah triliunan barrel minyak dan ribuan TCF gas bumi yang dikuras dari perut bumi kita untuk diekspor ke mancanegara, namun tidak berhasil berkontribusi nyata untuk menjadikan Indonesia sebagai sebuah negara yang mandiri dalam sektor MIGAS. Realita yang sulit diterima dan tidak seharusnya kita terima. Malah fluktuasi harga BBM menjadi malapetaka bagi bangsa Indonesia.
Mulai era pemerintahan Soekarno hingga pemerintahan Soesilo Bambang Yudhoyono, tata pengelolaan MIGAS kita, hampir tidak ada perubahan yang mendasar. Masih tetap berkutat pada format Kontrak Production Sharing (KPS) atau dalam istilah Inggrisnya, Production Sharing Contract (PSC).
Kendati secara teoritis saat ini pemerintah sudah berupaya maksimal untuk mulai memberlakukan format KPS “baru”, namun karena hanya merupakan proses tambal sulam dari format KPS lama, maka diyakini akan kurang memberikan kemanfaatan lebih/posisi lebih baik bagi Pemerintah Indonesia. Sebab, format bagi keuntungan yang setengah hati dan disertai dengan resistensi keras   khususnya dari pihak Asing yang selalu dicoba agar diubah sana-sini.
Korporasi MIGAS raksasa dengan segala cara, selalu berupaya untuk mendulang keuntungan sebesar-besarnya dari perut bumi kita. Salah satu upaya strategis untuk itu, dilakukan upaya untuk menghapus peraturan perundang-Undangan, dinegara mana mereka membuka ladang-ladang MIGAS, terutama aturan yang kurang menguntungkan mereka.
Di Indonesia, seperti yang sudah menjadi obrolan warung kopi di masyarakat perminyakan, ditengarai kesuksesan awal MOC yang tiada tara, adalah dicabutnya UU Nomor 44 Tahun 1960 tentang Pertambangan Minyak dan Gas Bumi yang murni berlandaskan Undang-Undang Dasar 1945, khususnya Pasal 33 ayat (3) yang berbunyi: “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”.
Penjabarannya dalam Undang-Undang No. 44 Prp Tahun 1960 tersebut ditemukan pada Pasal 2 yang menegaskan bahwa: “Segala bahan galian minyak dan gas bumi yang ada di dalam wilayah hukum pertambangan Indonesia merupakan kekayaan nasional yang dikuasai oleh Negara”.
Rontoknya UU Nomor 44 Prp Tahun 1960 sama artinya mencabut kewenangan Pertamina sebagai pemegang manajemen Kontak Production Sharing (KPS). Dan tentu saja, LEMIGAS turut serta menjadi lembaga yang kerdil, tak jelas peran dan fungsinya.
Kini dijelmakan menjadi UU Nomor 22 Tahun 2001 yang pada pokoknya merupakan kebijakan liberalisasi bisnis MIGAS. Akibatnya otoritas energi menjadi lemah, termasuk dalam penyediaan Bahan Bakar Minyak (BBM) di dalam negeri.
Seiring dengan diterapkannya UU Nomor 22 Tahun 2001, para pemegang KPS menunda eksplorasi dan berujung pada penurunan produksi nasional MIGAS. Padahal saat itu harga minyak mentah dalam posisi tinggi. Dan kita tidak bisa menikmatinya. Malah yang terjadi sebaliknya, subsidi BBM dalam APBN menjadi tinggi. Artinya, Rakyat Indonesia yang menanggung akibatnya.
UU MIGAS Nomor 22 Tahun 2001 baru saja berjalan, pada tahun 2004 Mahkamah Konstitusi menganulir empat pasal, salah satunya Pasal 12 ayat 3 yang langsung berhubungan dengan tata kelola kelembagaan hulu MIGAS.
Tidak hanya sampai disitu, Mahkamah Konstitusi lagi-lagi membatalkan pasal yang terkait dengan Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu MIGAS (BP MIGAS). Seluruh pasal dinyatakan tidak berlaku karena keberadaan BP MIGAS dinilai inkonstitusional.
Dengan demikian, fondasi legal tata kelola MIGAS kita, menjadi kurang kokoh. Kondisi seperti ini bisa memunculkan berbagai ketidakpastian dalam aturan main pengelolaan industri hulu MIGAS. Walaupun sudah dilahirkan Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu MIGAS (SKK MIGAS).
Dalam kondisi hari ini, pergolakan pengurangan subsidi BBM oleh pemerintah karena harga minyak yang tinggi, sepatutnya tidak hanya dilihat sebagai sebuah kondisi yang wajar. Harga BBM otomatis akan naik, dan kemudian BBM akan diseret agar menyentuh harga pasar. Selanjutnya, bila sudah berada pada posisi harga pasar, siapa yang mendulang keuntungan besar? Tentu para pemegang KPS yang memiliki pangsa pasar, terbentang dari Sabang hingga Merauke. Sementara kita, ngotot beradu pendapat soal mencabut atau menambah subsidi BBM di APBN.
Setidaknya, ada tiga argumentasi yang sering digunakan dalam “perjuangan” mempertahankan hegemoni asing di Industri MIGAS Nasional: 1) keterbatasan investasi dan potensi kerugian yang mungkin diderita investor nasional karena Industri MIGAS beresiko tinggi, 2) keterbatasan teknologi, 3) keterbatasan SDM.
Dalam kurun waktu sejak KPS pertama ditanda-tangani jamannya Ibnu Sutowo, gambaran sweet deal yang kita peroleh saat itu dari kerjasama dengan investor asing, sebenarnya dalam 25 tahun terakhir ini sudah berubah menjadi fatamorgana yang mengelabui kita.
Komunikasi yang terungkap di publik adalah bahwa berdasarkan formula KPS: investor menalangi 100% biaya pengoperasian sebuah blok MIGAS, kemudian keuntungan dari hasil penjualan produk Minyak, Gas Bumi ataupun kondensat yang dihasilkan, dibagi 85 % (bila Minyak) atau 70% (bila Gas Bumi) bagi negara dan sisanya 15% atau 30% bagi Kontraktor. Keuntungan dihitung setelah dikurangi segala pembiayaan yang terjadi, yang ditanggung Negara dengan menggantikan pengeluaran tersebut atau yang lebih dikenal dengan terminologi Cost Recovery.
Bila melihat komposisi KPS untuk Minyak 80 – 15 dan Gas 70 – 30, seharusnya kita introspeksi secara serius terhadap pernyataan Kepala Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) Rudi Rubiandini (yang sekarang berada dalam tahanan KPK) yang mengatakan bahwa tahun ini produksi gas kita lebih besar yakni mencapai 1,46 juta barel setara minyak per hari (boed), kondesat 101.787 boed, minyak 724.538 boed jadi totalnya 2.290.813 boed, ya karenakan kita migas ada minyak dan gas, dulu juga sama migas juga 1,6 juta barel itu kan ada gas nya 266 juta kaki kubik per hari. Jadi Indonesia itu sekarang OPIC, karena I-nya importir, produksinya turun sedangkan kebutuhannya terus meningkat jadi terpaksa harus impor.
Untuk mengatasi persoalan kedaulatan dan kemandirian industri MIGAS nasional, undang-undang MIGAS yang baru harus sejalan dengan UUD 1945. Di mana, pengelolaan MIGAS dari hulu ke hilir diserahkan seluruhnya ke perusahaan negara, dengan Pertamina sebagai operator.
Disisi lain, upaya memperlemah Pertamina, sebagai sebuah perusahaan, juga terlihat dari aturan main dalam penggunaan alokasi pendapatan. Tertinggalnya Pertamina dari perusahaan MIGAS negara lain seperti Petronas karena sistem tata kelola MIGAS yang keliru. Sebagian besar pendapatan Pertamina diserap oleh APBN, padahal Pertamina sebagai sebuah lembaga bisnis memerlukan belanja modal untuk meningkatkan kemampuannya.
Dengan realita di industri Migas kita saat ini, mungkin kita ada baiknya bercermin pada China, BUMN dan perusahaan migas swasta nasional China menguasai 95 persen kegiatan usaha hulu migas. Di Meksiko, Pemex merupakan satu-satunya operator pengusahaan migas. Di Kanada, hampir 80 persen BUMN migas mengontrol produksi migas nasional. Masih terlambat untuk melangkah pada yang lebih baik demi cita-cita luhur bangsa Indonesia, semoga…!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar