Oleh
: DIDIK EDI NURAJI, S.Sos, MM
Alumni Pasca Sarjana STIEKN
Jayanegara Malang
Sejarah
eksplorasi dan eksploitasi pengelolaan kekayaan bumi kita, khususnya minyak dan
gas bumi (MIGAS) cukup panjang. Dengan perjalanan yang cukup panjang namun
kini, kemandirian dalam pengelolaan MIGAS nasional tak bisa kita capai. Apa
yang salah dengan pengelolaan Migas nasional?
Dalam
kurun waktu perjalanan panjang pengelolaan industri Migas nasional hingga tahun
2013 ini diketahui bahwa ternyata sekitar 74% wilayah kerja produksi Migas di
Indonesia masih dikelola pihak asing. Dari 279 blok migas di Indonesia, hanya
72 blok yang dikuasai oleh Negara ( 25 % ) , selebihnya sebanyak 207 blok migas
(75%) masih didominasi oleh pihak swasta yang hampir seluruhnya dipegang oleh
perusahaan asing seperti Chevron, Total, Hess, Petrochina, Cnooc, dll.
Chevron
perusahaan asing dari Amerika yang dalam satu hari berhasil memproduksi 476
MBPD , sedangkan Pertamina dengan produksi minyak mentah sebesar 135,6 MBPD
menempati posisi kedua, diikuti beberapa perusahaan asing lainnya.
Sedangkan
untuk produksi gas di Indonesia, tertinggi masih dipegang oleh Total yaitu
perusahaan asing dari Perancis, dalam satu hari berhasil memproduksi 2.300
MMSCFD, di posisi kedua ditempati pertamina dengan produksi gas sebesar 1.107
MMSCFD.
Aneh
bukan,,? Di Negara sendiri, produksi tertinggi minyak dan gas dipegang oleh
perusahaan asing…. Begitu parahnya pengelolaan industri MIGAS Indonesia.
Padahal, Indonesia pernah dalam posisi menjadi salah satu negara pengekspor
MIGAS penting dunia, bahkan pernah menduduki kursi tertinggi OPEC/Orgniasasi
Negara-negara Pengekspor MIGAS selama beberapa periode. Apa yang salah dalam
pengelolaan MIGAS kita? Sehingga kini, buah nestapa yang kita nikmati dan
melampaui titik balik, menjadi importir netto MIGAS serta harus keluar dari
OPEC.
Hingga
tahun 2013 ini sudah triliunan barrel minyak dan ribuan TCF gas bumi yang
dikuras dari perut bumi kita untuk diekspor ke mancanegara, namun tidak
berhasil berkontribusi nyata untuk menjadikan Indonesia sebagai sebuah negara
yang mandiri dalam sektor MIGAS. Realita yang sulit diterima dan tidak
seharusnya kita terima. Malah fluktuasi harga BBM menjadi malapetaka bagi
bangsa Indonesia.
Mulai
era pemerintahan Soekarno hingga pemerintahan Soesilo Bambang Yudhoyono, tata
pengelolaan MIGAS kita, hampir tidak ada perubahan yang mendasar. Masih tetap
berkutat pada format Kontrak Production Sharing (KPS) atau dalam istilah
Inggrisnya, Production Sharing Contract (PSC).
Kendati
secara teoritis saat ini pemerintah sudah berupaya maksimal untuk mulai
memberlakukan format KPS “baru”, namun karena hanya merupakan proses tambal
sulam dari format KPS lama, maka diyakini akan kurang memberikan kemanfaatan
lebih/posisi lebih baik bagi Pemerintah Indonesia. Sebab, format bagi
keuntungan yang setengah hati dan disertai dengan resistensi keras khususnya dari pihak Asing yang selalu
dicoba agar diubah sana-sini.
Korporasi
MIGAS raksasa dengan segala cara, selalu berupaya untuk mendulang keuntungan
sebesar-besarnya dari perut bumi kita. Salah satu upaya strategis untuk itu,
dilakukan upaya untuk menghapus peraturan perundang-Undangan, dinegara mana
mereka membuka ladang-ladang MIGAS, terutama aturan yang kurang menguntungkan
mereka.
Di
Indonesia, seperti yang sudah menjadi obrolan warung kopi di masyarakat
perminyakan, ditengarai kesuksesan awal MOC yang tiada tara, adalah dicabutnya
UU Nomor 44 Tahun 1960 tentang Pertambangan Minyak dan Gas Bumi yang murni
berlandaskan Undang-Undang Dasar 1945, khususnya Pasal 33 ayat (3) yang
berbunyi: “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai
oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”.
Penjabarannya
dalam Undang-Undang No. 44 Prp Tahun 1960 tersebut ditemukan pada Pasal 2 yang
menegaskan bahwa: “Segala bahan galian minyak dan gas bumi yang ada di dalam
wilayah hukum pertambangan Indonesia merupakan kekayaan nasional yang dikuasai
oleh Negara”.
Rontoknya
UU Nomor 44 Prp Tahun 1960 sama artinya mencabut kewenangan Pertamina sebagai
pemegang manajemen Kontak Production Sharing (KPS). Dan tentu saja, LEMIGAS
turut serta menjadi lembaga yang kerdil, tak jelas peran dan fungsinya.
Kini
dijelmakan menjadi UU Nomor 22 Tahun 2001 yang pada pokoknya merupakan
kebijakan liberalisasi bisnis MIGAS. Akibatnya otoritas energi menjadi lemah,
termasuk dalam penyediaan Bahan Bakar Minyak (BBM) di dalam negeri.
Seiring
dengan diterapkannya UU Nomor 22 Tahun 2001, para pemegang KPS menunda
eksplorasi dan berujung pada penurunan produksi nasional MIGAS. Padahal saat
itu harga minyak mentah dalam posisi tinggi. Dan kita tidak bisa menikmatinya.
Malah yang terjadi sebaliknya, subsidi BBM dalam APBN menjadi tinggi. Artinya,
Rakyat Indonesia yang menanggung akibatnya.
UU
MIGAS Nomor 22 Tahun 2001 baru saja berjalan, pada tahun 2004 Mahkamah
Konstitusi menganulir empat pasal, salah satunya Pasal 12 ayat 3 yang langsung
berhubungan dengan tata kelola kelembagaan hulu MIGAS.
Tidak
hanya sampai disitu, Mahkamah Konstitusi lagi-lagi membatalkan pasal yang
terkait dengan Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu MIGAS (BP MIGAS). Seluruh
pasal dinyatakan tidak berlaku karena keberadaan BP MIGAS dinilai
inkonstitusional.
Dengan
demikian, fondasi legal tata kelola MIGAS kita, menjadi kurang kokoh. Kondisi
seperti ini bisa memunculkan berbagai ketidakpastian dalam aturan main
pengelolaan industri hulu MIGAS. Walaupun sudah dilahirkan Satuan Kerja Khusus
Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu MIGAS (SKK MIGAS).
Dalam
kondisi hari ini, pergolakan pengurangan subsidi BBM oleh pemerintah karena
harga minyak yang tinggi, sepatutnya tidak hanya dilihat sebagai sebuah kondisi
yang wajar. Harga BBM otomatis akan naik, dan kemudian BBM akan diseret agar
menyentuh harga pasar. Selanjutnya, bila sudah berada pada posisi harga pasar,
siapa yang mendulang keuntungan besar? Tentu para pemegang KPS yang memiliki
pangsa pasar, terbentang dari Sabang hingga Merauke. Sementara kita, ngotot
beradu pendapat soal mencabut atau menambah subsidi BBM di APBN.
Setidaknya,
ada tiga argumentasi yang sering digunakan dalam “perjuangan” mempertahankan
hegemoni asing di Industri MIGAS Nasional: 1) keterbatasan investasi dan
potensi kerugian yang mungkin diderita investor nasional karena Industri MIGAS
beresiko tinggi, 2) keterbatasan teknologi, 3) keterbatasan SDM.
Dalam
kurun waktu sejak KPS pertama ditanda-tangani jamannya Ibnu Sutowo, gambaran
sweet deal yang kita peroleh saat itu dari kerjasama dengan investor asing,
sebenarnya dalam 25 tahun terakhir ini sudah berubah menjadi fatamorgana yang
mengelabui kita.
Komunikasi
yang terungkap di publik adalah bahwa berdasarkan formula KPS: investor
menalangi 100% biaya pengoperasian sebuah blok MIGAS, kemudian keuntungan dari
hasil penjualan produk Minyak, Gas Bumi ataupun kondensat yang dihasilkan,
dibagi 85 % (bila Minyak) atau 70% (bila Gas Bumi) bagi negara dan sisanya 15%
atau 30% bagi Kontraktor. Keuntungan dihitung setelah dikurangi segala
pembiayaan yang terjadi, yang ditanggung Negara dengan menggantikan pengeluaran
tersebut atau yang lebih dikenal dengan terminologi Cost Recovery.
Bila
melihat komposisi KPS untuk Minyak 80 – 15 dan Gas 70 – 30, seharusnya kita
introspeksi secara serius terhadap pernyataan Kepala Satuan Kerja Khusus
Pelaksana Kegiatan Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) Rudi Rubiandini (yang
sekarang berada dalam tahanan KPK) yang mengatakan bahwa tahun ini produksi gas
kita lebih besar yakni mencapai 1,46 juta barel setara minyak per hari (boed),
kondesat 101.787 boed, minyak 724.538 boed jadi totalnya 2.290.813 boed, ya
karenakan kita migas ada minyak dan gas, dulu juga sama migas juga 1,6 juta
barel itu kan ada gas nya 266 juta kaki kubik per hari. Jadi Indonesia itu
sekarang OPIC, karena I-nya importir, produksinya turun sedangkan kebutuhannya
terus meningkat jadi terpaksa harus impor.
Untuk
mengatasi persoalan kedaulatan dan kemandirian industri MIGAS nasional,
undang-undang MIGAS yang baru harus sejalan dengan UUD 1945. Di mana,
pengelolaan MIGAS dari hulu ke hilir diserahkan seluruhnya ke perusahaan
negara, dengan Pertamina sebagai operator.
Disisi
lain, upaya memperlemah Pertamina, sebagai sebuah perusahaan, juga terlihat
dari aturan main dalam penggunaan alokasi pendapatan. Tertinggalnya Pertamina
dari perusahaan MIGAS negara lain seperti Petronas karena sistem tata kelola
MIGAS yang keliru. Sebagian besar pendapatan Pertamina diserap oleh APBN,
padahal Pertamina sebagai sebuah lembaga bisnis memerlukan belanja modal untuk
meningkatkan kemampuannya.
Dengan
realita di industri Migas kita saat ini, mungkin kita ada baiknya bercermin
pada China, BUMN dan perusahaan migas swasta nasional China menguasai 95 persen
kegiatan usaha hulu migas. Di Meksiko, Pemex merupakan satu-satunya operator
pengusahaan migas. Di Kanada, hampir 80 persen BUMN migas mengontrol produksi
migas nasional. Masih terlambat untuk melangkah pada yang lebih baik demi
cita-cita luhur bangsa Indonesia, semoga…!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar