Minggu, 27 Oktober 2013

Integritas & Independensi Lembaga Survei



DIDIK EDI NURAJI, S.Sos, MM.
Alumni Pasca Sarjana STIEKN Jayanegara Malang

Survei salah satu elemen dalam demokrasi. Ibarat pisau bermata dua, bila dilakukan dengan benar dan professional hasil survei akan selaras dengan demokrasi, sebaliknya bila survei dilaksanakan dengan subyektif atau lebih tepatnya survei pesanan politik maka akan bertentangan dengan demokrasi.
Akhir-akhir ini kita tidak bisa memungkiri lembaga survei politik amat mungkin terpeleset untuk condong ke individu atau kelompok tertentu. Survei bisa dibelokkan dan data-datanya dimanipulasi demi menggiring opini publik.  Bila lembaga survei melakukan hal tersebut maka telah terjadi intervensi kepada kedaulatan rakyat lewat penggiringan opini. Adanya penggiringan opini tersebut merusak kehidupan berdemokrasi yang mestinya dalam demokrasi, rakyat bebas menentukan pilihan.

Survei harus dilakukan dengan disiplin bermetodologi dan berpegang pada kode etik riset yang berlaku universal. Jangan sampai kehadiran lembaga survei yang memiliki misi mulia, yakni membuat politik kian ilmiah dan modern, berbelok arah menjadikan politik sebagai lahan bisnis.
Sebenarnya dalam pasal 246 ayat 2 Undang-Undang nomor 8 tahun 2012 sudah jelas diatur tentang keindependenan lembaga survei, survei atau jajak pendapat tentang pemilu tidak boleh melakukan keberpihakan, menguntungkan, atau merugikan peserta pemilu.
Akhir-akhir kita banyak disuguhi publikasi hasil survei pemunculan nama pemimpin nasional menjelang Pilpres tahun depan. Tokoh-tokoh yang dianggap sebagai kandidat pemimpin nasional versi lembaga survei menghiasi layar tv dan koran tiap hari. Menjelang pemilu 2014, pollster atau lembaga-lembaga survei ini seakan berlomba menampilkan figur-figur yang dianggap layak menakhodai negara. Mencermati fenomena tersebut, keberadaan lembaga survei dalam sistem demokrasi sebenarnya merupakan sebuah kewajaran mengingat prinsip keterwakilan dan keilmiahannya. Menjamurnya aktivitas survei menjelang pemilu dapat disimpulkan sebagai pertanda makin bergeliatnya demokratisasi di negeri ini.
Harus diakui bahwa fenomena angka-angka yang dikeluarkan lembaga survei yang dikemas dalam nilai popularitas dan nilai elektabilitas yang tinggi sangat mengesankan bagi masyarakat, hasil survei tersebut seolah-olah sudah menempatkan seseorang sebagai pemenang dalam pesta demokrasi nanti.
Yang harus kita cermati bersama adalah sejauh mana peran yang dimainkan lembaga survei tersebut, khususnya dalam pencitraan dan opini tentang kategori pemimpin nasional, mulai dari pemuculan nama hingga dilakukannya jajak pendapat tentang nilai akseptabilitas tokoh nasional tersebut, menyisakan ruang perdebatan. Apakah betul angka-angka tersebut merupakan hasil  dari survei lapangan atau hanya sekedar menggiring opini publik? Selanjutnya, sampai sejauh mana lembaga survei jujur dengan hasil surveinya atau mereka bagian dari kepentingan kandidat?
Lembaga survei tentu saja selalu menggunakan bungkus profesionalisme dalam menjelaskan angka-angka hasil surveinya. Namun, semua angka-angka tersebut ada satu cara ketika lembaga survei tidak bisa disalahkan, yaitu dengan mengangkat persentase yang belum memilih.
Pollster atau lembaga survey seolah menjadi superior karena merasa bersenjatakan mandat institusional dari seluruh elemen bangsa untuk menentukan tokoh mana saja yang layak digadang menjadi pemimpin nasional. Sebenarnya sah saja bagi lembaga survei untuk menentukan nominasi siapa kandidat pemimpin nasional, namun dengan catatan, harus berada dalam koridor ilmiah yang dapat dipertanggung-jawabkan secara akademis. Namun sayangnya, metode yang digunakan lembaga survei untuk memunculkan nama kandidat tertentu sering tidak jelas. Dengan kata lain, dasar kriteria seorang pemimpin nasional menurut lembaga survei masih dipertanyakan.
Sering kali tokoh yang dimasukkan dalam nominasi pemimpin nasional hanya didasarkan pada atribut materialistik yang dimilikinya saat itu, seperti pemodal kaya, pemimpin parpol, tokoh militer, dan tokoh birokrasi. Aspek rekam jejak cenderung diabaikan oleh lembaga survei. Ini jelas merupakan sebuah ironi besar dalam penentuan gagasan kepemimpinan nasional serta mengaburkan kesepakatan soal kriteria seperti apa yang seharusnya dimiliki calon pemimpin bangsa.
Kekhawatiran ini cukup beralasan mengingat kultur demokrasi negeri ini yang melahirkan nama-nama tersebut cenderung bercorak elitis. Akibatnya, gagasan kepemimpinan yang digaungkan muncul dalam corak aristokratis serta memuja-muja ketokohan yang terbentuk oleh mesin pencitraan yang manipulatif. Lembaga survei dalam hal ini justru mendorong lebih jauh kultur demokrasi tersebut. Dalam pemahaman lembaga survei, para tokoh yang ditentukan untuk dipilih responden harus memiliki modal dukungan politik dan finansial yang memadai untuk maju dalam tahap pencalonan sebagai pemimpin.
Dalam proses persaingan jabatan publik, lembaga survei seakan berhak menentukan siapa yang layak dan tidak layak menjadi kandidat dengan bersenjatakan tiga magic words: popularitas, akseptabilitas, dan elektabilitas. Tanpa disadari, selama ini lembaga survei telah ikut andil dalam menciptakan, membentuk, bahkan mengkonstruksi persepsi masyarakat akan sosok pemimpin nasional. Hal ini merupakan sebuah peran yang seharusnya bukan domain lembaga survei, karena seyogyanya peran lembaga survei adalah monitoring opini publik, bukan justru terlibat dalam proses the making of nya.
Jika dirunut ke belakang, maka polemik ini terkait erat dengan independensi dari lembaga survei itu sendiri. Hakikat lembaga survei adalah berkontribusi dalam pendidikan politik demi menciptakan iklim demokrasi yang sehat. Namun jika koridor tersebut telah bergeser ke arah orientasi profit, tak heran bias peran lembaga survei akan menyeruak. Terlebih lagi, ketika hasil survei yang kental dengan aroma ‘pesanan’ ternyata tidak sesuai dengan hasil perhitungan Real count, lembaga survei dengan mudah akan berlindung di balik tameng “kesalahan sudah pasti ada”.
Tidaklah terlalu berlebihan kiranya bila ada tuntutan agar perlu adanya lembaga untuk mengakreditasi lembaga-lembaga survei yang kerap memublikasikan survei-survei politik agar tidak menyesatkan masyarakat. Hal itu dilakukan untuk kepentingan demokrasi dan supaya tidak ada pihak yang merasa dirugikan oleh hasil survei yang tidak objektif dan akurat.
Dengan adanya lembaga akreditasi atau pengawasan terhadap lembaga survei, maka survei-survei politik yang dipublikasikan benar-benar akurat dan bisa dipertanggungjawabkan. Dengan begitu akan meningkatkan kepercayaan publik terhadap survei dan tidak timbul kecurigaan.
Yang juga penting adalah masalah pengawasan etrhadap lembaga survey, agar keberadaan lembaga survei benar-benar independen, objektif dan berorientasi pada pendidikan politik untuk mendewasakan dan mencerdaskan bangsa agar rakyat sadar pilihan politiknya didasari argumentasi yang objektif dan akurat. Pengertian independensi dalam lembaga survei, harus berpegang kepada nilai-nilai integritas dari peneliti dan lembaga survei itu sendiri. Lembaga tersebut harus bertanggung jawab, jujur, dan objektif dan mengakui kekurangan dari riset. Harus ada aturan-aturan yang menyertai keberadaan lembaga survei di Indonesia.
Oleh karena itu, lembaga survei perlu meningkatkan transparansi publik mulai dari metode pemunculan kandidat, penarikan sample, hingga sumber pendanaan. Selain itu, hendaknya lembaga survei berfokus pada fungsi pengawasan opini publik saja dan tidak bermain di ranah framing. Jika fungsi ini dijalankan dengan benar, maka secara berkala akan menjadi masukan bagi proses demokrasi yang lebih sehat dan tidak manipulatif. Sehingga demokrasi kita akan semakin terkonsolidasi. Dalam jangka panjang, survei yang dilakukan secara benar juga akan mendorong produk demokrasi menjadi semakin legitimate, stabil, bertanggungjawab, dan efektif. (*)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar