DIDIK EDI NURAJI, S.Sos, MM.
Alumni
Pasca Sarjana STIEKN Jayanegara Malang
Survei salah satu elemen dalam demokrasi. Ibarat pisau
bermata dua, bila dilakukan dengan benar dan professional hasil survei akan
selaras dengan demokrasi, sebaliknya bila survei dilaksanakan dengan subyektif
atau lebih tepatnya survei pesanan politik maka akan bertentangan dengan
demokrasi.
Akhir-akhir ini kita tidak bisa memungkiri lembaga survei
politik amat mungkin terpeleset untuk condong ke individu atau kelompok
tertentu. Survei bisa dibelokkan dan data-datanya dimanipulasi demi menggiring
opini publik. Bila lembaga survei
melakukan hal tersebut maka telah terjadi intervensi kepada kedaulatan rakyat
lewat penggiringan opini. Adanya penggiringan opini tersebut merusak kehidupan
berdemokrasi yang mestinya dalam demokrasi, rakyat bebas menentukan pilihan.
Survei harus dilakukan dengan disiplin bermetodologi dan
berpegang pada kode etik riset yang berlaku universal. Jangan sampai kehadiran
lembaga survei yang memiliki misi mulia, yakni membuat politik kian ilmiah dan
modern, berbelok arah menjadikan politik sebagai lahan bisnis.
Sebenarnya dalam pasal 246 ayat 2 Undang-Undang nomor 8
tahun 2012 sudah jelas diatur tentang keindependenan lembaga survei, survei
atau jajak pendapat tentang pemilu tidak boleh melakukan keberpihakan,
menguntungkan, atau merugikan peserta pemilu.
Akhir-akhir kita banyak disuguhi publikasi hasil survei
pemunculan nama pemimpin nasional menjelang Pilpres tahun depan. Tokoh-tokoh
yang dianggap sebagai kandidat pemimpin nasional versi lembaga survei menghiasi
layar tv dan koran tiap hari. Menjelang pemilu 2014, pollster atau
lembaga-lembaga survei ini seakan berlomba menampilkan figur-figur yang
dianggap layak menakhodai negara. Mencermati fenomena tersebut, keberadaan
lembaga survei dalam sistem demokrasi sebenarnya merupakan sebuah kewajaran
mengingat prinsip keterwakilan dan keilmiahannya. Menjamurnya aktivitas survei
menjelang pemilu dapat disimpulkan sebagai pertanda makin bergeliatnya
demokratisasi di negeri ini.
Harus diakui bahwa fenomena angka-angka yang dikeluarkan
lembaga survei yang dikemas dalam nilai popularitas dan nilai elektabilitas
yang tinggi sangat mengesankan bagi masyarakat, hasil survei tersebut seolah-olah
sudah menempatkan seseorang sebagai pemenang dalam pesta demokrasi nanti.
Yang harus kita cermati bersama adalah sejauh mana peran
yang dimainkan lembaga survei tersebut, khususnya dalam pencitraan dan opini
tentang kategori pemimpin nasional, mulai dari pemuculan nama hingga
dilakukannya jajak pendapat tentang nilai akseptabilitas tokoh nasional
tersebut, menyisakan ruang perdebatan. Apakah betul angka-angka tersebut
merupakan hasil dari survei lapangan atau
hanya sekedar menggiring opini publik? Selanjutnya, sampai sejauh mana lembaga
survei jujur dengan hasil surveinya atau mereka bagian dari kepentingan
kandidat?
Lembaga survei tentu saja selalu menggunakan bungkus
profesionalisme dalam menjelaskan angka-angka hasil surveinya. Namun, semua angka-angka
tersebut ada satu cara ketika lembaga survei tidak bisa disalahkan, yaitu
dengan mengangkat persentase yang belum memilih.
Pollster atau lembaga survey seolah menjadi superior karena
merasa bersenjatakan mandat institusional dari seluruh elemen bangsa untuk
menentukan tokoh mana saja yang layak digadang menjadi pemimpin nasional.
Sebenarnya sah saja bagi lembaga survei untuk menentukan nominasi siapa
kandidat pemimpin nasional, namun dengan catatan, harus berada dalam koridor
ilmiah yang dapat dipertanggung-jawabkan secara akademis. Namun sayangnya,
metode yang digunakan lembaga survei untuk memunculkan nama kandidat tertentu
sering tidak jelas. Dengan kata lain, dasar kriteria seorang pemimpin nasional
menurut lembaga survei masih dipertanyakan.
Sering kali tokoh yang dimasukkan dalam nominasi pemimpin
nasional hanya didasarkan pada atribut materialistik yang dimilikinya saat itu,
seperti pemodal kaya, pemimpin parpol, tokoh militer, dan tokoh birokrasi.
Aspek rekam jejak cenderung diabaikan oleh lembaga survei. Ini jelas merupakan
sebuah ironi besar dalam penentuan gagasan kepemimpinan nasional serta
mengaburkan kesepakatan soal kriteria seperti apa yang seharusnya dimiliki
calon pemimpin bangsa.
Kekhawatiran ini cukup beralasan mengingat kultur demokrasi
negeri ini yang melahirkan nama-nama tersebut cenderung bercorak elitis.
Akibatnya, gagasan kepemimpinan yang digaungkan muncul dalam corak aristokratis
serta memuja-muja ketokohan yang terbentuk oleh mesin pencitraan yang
manipulatif. Lembaga survei dalam hal ini justru mendorong lebih jauh kultur
demokrasi tersebut. Dalam pemahaman lembaga survei, para tokoh yang ditentukan
untuk dipilih responden harus memiliki modal dukungan politik dan finansial
yang memadai untuk maju dalam tahap pencalonan sebagai pemimpin.
Dalam proses persaingan jabatan publik, lembaga survei
seakan berhak menentukan siapa yang
layak dan tidak layak menjadi kandidat dengan bersenjatakan tiga magic words:
popularitas, akseptabilitas, dan elektabilitas. Tanpa disadari, selama ini
lembaga survei telah ikut andil dalam menciptakan, membentuk, bahkan
mengkonstruksi persepsi masyarakat akan sosok pemimpin nasional. Hal ini
merupakan sebuah peran yang seharusnya bukan domain lembaga survei, karena
seyogyanya peran lembaga survei adalah monitoring opini publik, bukan justru
terlibat dalam proses the making of
nya.
Jika dirunut ke belakang, maka polemik ini terkait erat
dengan independensi dari lembaga survei itu sendiri. Hakikat lembaga survei
adalah berkontribusi dalam pendidikan politik demi menciptakan iklim demokrasi
yang sehat. Namun jika koridor tersebut telah bergeser ke arah orientasi
profit, tak heran bias peran lembaga survei akan menyeruak. Terlebih lagi,
ketika hasil survei yang kental dengan aroma ‘pesanan’ ternyata tidak sesuai dengan hasil perhitungan Real
count, lembaga survei dengan mudah akan berlindung di balik tameng “kesalahan
sudah pasti ada”.
Tidaklah terlalu berlebihan kiranya bila ada tuntutan agar
perlu adanya lembaga untuk mengakreditasi lembaga-lembaga survei yang kerap
memublikasikan survei-survei politik agar tidak menyesatkan masyarakat. Hal itu
dilakukan untuk kepentingan demokrasi dan supaya tidak ada pihak yang merasa
dirugikan oleh hasil survei yang tidak objektif dan akurat.
Dengan adanya lembaga akreditasi atau pengawasan terhadap
lembaga survei, maka survei-survei politik yang dipublikasikan benar-benar
akurat dan bisa dipertanggungjawabkan. Dengan begitu akan meningkatkan
kepercayaan publik terhadap survei dan tidak timbul kecurigaan.
Yang juga penting adalah masalah pengawasan etrhadap lembaga
survey, agar keberadaan lembaga survei benar-benar independen, objektif dan
berorientasi pada pendidikan politik untuk mendewasakan dan mencerdaskan bangsa
agar rakyat sadar pilihan politiknya didasari argumentasi yang objektif dan
akurat. Pengertian independensi dalam lembaga survei, harus berpegang kepada
nilai-nilai integritas dari peneliti dan lembaga survei itu sendiri. Lembaga
tersebut harus bertanggung jawab, jujur, dan objektif dan mengakui kekurangan
dari riset. Harus ada aturan-aturan yang menyertai keberadaan lembaga survei di
Indonesia.
Oleh karena itu, lembaga survei perlu meningkatkan
transparansi publik mulai dari metode pemunculan kandidat, penarikan sample,
hingga sumber pendanaan. Selain itu, hendaknya lembaga survei berfokus pada
fungsi pengawasan opini publik saja dan tidak bermain di ranah framing. Jika
fungsi ini dijalankan dengan benar, maka secara berkala akan menjadi masukan
bagi proses demokrasi yang lebih sehat dan tidak manipulatif. Sehingga
demokrasi kita akan semakin terkonsolidasi. Dalam jangka panjang, survei yang
dilakukan secara benar juga akan mendorong produk demokrasi menjadi semakin
legitimate, stabil, bertanggungjawab, dan efektif. (*)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar