Kamis, 24 Oktober 2013

Menanti Kejernihan Hati DPR RI



DIDIK EDI NURAJI, S.Sos, MM.
Alumni Pasca Sarjana STIEKN Jayanegara Malang

Ditengah pro kontra masalah Perppu MK terutama terkait dengan ikhwal ‘kegentingan yang memaksa’ yang mengharuskan seorang presiden menerbitkan Perppu, Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono bersikukuh menetapkan Peraturan Pemerintah Penganti Undang-Undang tentang Mahkamah Konstitusi yang sekarang posisinya berada di tangan DPR.
Seperti kita ketahui bersama, beberapa hari lalu Presiden tandatangani Peraturan Pemerintah Penganti Undang-Undang nomor 1 tahun 2013 tentang perubahan kedua atas Undang-Undang nomor 24 tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (15 hari setelah MK dilanda petaka dengan ditangkapkan Akil Mochtar, oleh KPK). Akil dibekuk pada 2 Oktober 2013 karena diduga menerima suap terkait dengan pelaksanaan Pemilukada di Kabupaten Gunung Mas Kalteng dan Kab. Lebak Banten, saat itulah kredibilitas MK sebagai lembaga negara yang masih dipercaya publik selain KPK hancur. penangkapan Akil Mochtar membuat dunia hukum di Indonesia terguncang hebat, malah ada yang menyebut sebagai kiamat kecil, oleh karena itu kita sepakat adanya upaya luar biasa untuk menyelamatkan MK dan memulihkan kepercayaan  rakyat yang terlanjur remuk redam.

Pertanyaannya, apakah untuk menyelamatkan Mahkamah Konstitusi dan memulihkan kepercayaan rakyat pada MK mesti dengan menerbitkan Perppu?. Secara konstitusi memanglah tidak salah presiden menerbitkan Peraturan Pemerintah Penganti Undang-Undang, sesuai dengan konstitusi, presiden mempunyai hak untuk mengajukan Perppu. Sudah menjadi kewajiban presiden untuk bersikap dan bertindak ketika negara diterpa prahara seperti yang terjadi di MK, namun juga tidak salah jika kemudian ada yang mengkritisi kebijakan presiden. Apalagi kebijakan penerbitan Perppu MK ramai dengan perang tafsir.
Sesuai dengan pasal 22 UUD 1945, Presiden bisa mengajukan Perppu dengan syarat ada kegentingan yang memaksa. Pertanyaannya, apakah kondisi di MK sebegitu gentingnya ketika Akil ditangkap? Bukankah MK tetap bisa berjalan tanpa Akil yang kini mendekam di rutan KPK? Tingkat kegentingan itu semakin bias lantaran Perppu  baru diajukan setelah setengah bulan pasca ditangkapnya Akil. Selama itu pula Mahkamah Konstitusi berupaya melakukan recoveri, pemulihan diri dari kegoncangan yang menghantam pasca ditangkapnya Akil. Delapan hakim konstitusi yang tersisa masih bisa memutuskan sengketa yang dimohonkan ke Mahkamah Konstitusi. Perppu Mahkamah Konstitusi boleh jadi memang konstitusional, dalam artian itu adalah hak konstitusional presiden, dan kita sepakat MK harus diselamatkan bukan untuk sesaat.
Dari sisi konstitusi memang Perppu jelas bahwa Perppu ini ditandatangani Presiden yang berarti bahwa Perppu ini sudah konstitusional, tetapi dari prasyarat, apakah itu sudah memenuhi yang disyaratkan konstitusi masih menjadi perdebatan. Pasal 22 UUD 1945 menyebutkan dalam hal ikhwal kegentingan yang memaksa presiden bisa menerbitkan peraturan pemerintah pengganti Undang-Undang. Namun definisi kegentingan yang memaksa tersebut mejadi perdebatan. Ketua MK ditangkap KPK memang merupakan fakta, namun kemudian yang menjadi perhatian adalah proses dari terbitnya Perppu yang setengah bulan setelah penangkapan ketua MK tersebut menimbulkan pertanyaan, apakah urgensi dari  kegentingan  yang memaksa itu masih bias kita terima?. Ditangkapnya Akil, MK masih memiliki delapan hakim konstitusi yang masih bias bersidang dan memutus sengketa pemilukada yang diajukan oleh para pemohon dan berlangsung secara lancar dan masing-masing pihak menghargai proses dan hasil dari MK tersebut. Dengan kata lain, system di MK pasca ditangkapnya Akil masih bisa berjalan.
Kendati demikian, langkah presiden tersebut harus kita hormati, apalagi Perppu mahkamah konstitusi sarat dengan semangat untuk membentengi MK dari godaan kepentingan. Untuk menjadi hakim konstitusi misalnya, seseorang tidak boleh menjadi anggota partai politik minimal selama tujuh tahun. Perppu juga menjelaskan tentang rekrutmen hakim konstitusi. Perppu pun mengatur pembentukan majelis kehormatan hakim konstitusi yang bersifat tetap yang bertugas mengawasi mahkamah konstitusi. Selama ini meski memiliki kewenangan luar biasa besar, MK bebas lepas tanpa pengawasan. Penyelamatan MK jika dilakukan dengan cepat dan lebih tepat, misalnya dengan melakukan revisi Undang-Undang tentang mahkamah konstitusi atau pemerintah bisa mengajukan rancangan Undang-Undang baru.
Proses menghasilkan seorang hakim konstitusi yang ideal tidaklah mudah dan melelahkan. Proses formal yang ada saat ini hendaknya tidak menghasilkan hakim "pasaran", hakim yang hanya memutus dengan harga dan permintaan "pasar", yang membuat hati rakyat terkhianati seperti yang disangkakan pada Akil Mochtar..
Kekuasaan kehakiman tengah dirundung duka korupsi. Ranah kuasa yudisial ini tak pernah berhenti menggadaikan putusannya. Dengan label "Demi Ketuhanan yang Maha Esa", setiap ketukan palu sang hakim selalu ada harganya. Masih sangat berbekas di ingatan kita ketika pengadilan tindak pidana korupsi (tipikor) di beberapa daerah ramai-ramai memutus bebas banyak terdakwa korupsi. Tak berselang lama kemudian terdengar kabar ada hakim tipikor yang tertangkap tangan menerima suap.
Muara dari langkah presiden untuk menyelamatkan MK tersebut adalah menciptakan Negara  dan pemerintahan yang berwibawa. Kita ketahui bahwa salah satu hal yang mengakibatkan  ketidakwibawaan negara terjadi karena negara tidak mampu menegakkan tertib hukum dan sosial.
Masalah penyelamatan mahkamah konstitusi yang merupakan lembaga penegak konstitusi di Negara ini adalah hal yang sangat penting yang harus ditangani dengan serius. ”Artinya, para elite politik harus fokus dan jernih membahas Perppu tersebut di DPR.
Saat ini Perppu tersebut masih menjadi perdebatan. Perdebatan tersebut berada di tangan DPR untuk dibahas dan disetujui, karena Perppu sudah diajukan ke DPR, kita berharap DPR berpikir jernih dan dengan landasan konstitusional, raktyat tidak ingin DPR membahas Perppu hanya dijadikan komoditas politik. Kalau nantinya Perppu tersebut disetujui, semata-mata harus karena dilatarbelakangi dengan semangat untuk menyelamatkan dan memulihkan kepercayaan rakyat pada MK, begitu juga sebaliknya, penolakan tidak boleh didasari untuk mempermalukan pemerintah/presiden.
Saat ini kejernihan elit politik benar-benar dirindukan dan dinantikan oleh rakyat untuk benar-benar memulihkan kepercayaan terhadap mahkamah konstitusi tersebut. Bila DPR bisa mengesampingkan kepentingan dan tidak menjadikan komoditas politik dalam pembahasan Perppu tersebut, insyaallah bukan hanya MK yang akan kembali mendapat kepercayaan rakyat, namun lebih dari itu, DPR sendiri juga akan menerima dampak positif berupa serpihan kepercayaan hati rakyat yang saat ini kepercayaan rakyat pada lembaga perwakilan rakyat tersebut juga rendah. (*)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar