DIDIK EDI NURAJI, S.Sos, MM.
Alumni
Pasca Sarjana STIEKN Jayanegara Malang
Ditengah pro kontra masalah Perppu MK terutama terkait dengan
ikhwal ‘kegentingan yang memaksa’ yang mengharuskan seorang presiden
menerbitkan Perppu, Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono bersikukuh menetapkan
Peraturan Pemerintah Penganti Undang-Undang tentang Mahkamah Konstitusi yang
sekarang posisinya berada di tangan DPR.
Seperti kita ketahui bersama, beberapa hari lalu Presiden tandatangani Peraturan Pemerintah Penganti Undang-Undang
nomor 1 tahun 2013 tentang perubahan kedua atas Undang-Undang nomor 24 tahun
2003 tentang Mahkamah Konstitusi (15 hari setelah MK dilanda petaka dengan
ditangkapkan Akil Mochtar, oleh KPK). Akil dibekuk pada 2 Oktober 2013 karena
diduga menerima suap terkait dengan pelaksanaan Pemilukada di Kabupaten Gunung
Mas Kalteng dan Kab. Lebak Banten, saat itulah kredibilitas MK sebagai lembaga
negara yang masih dipercaya publik selain KPK hancur. penangkapan Akil Mochtar
membuat dunia hukum di Indonesia terguncang hebat, malah ada yang menyebut
sebagai kiamat kecil, oleh karena itu kita sepakat adanya upaya luar biasa
untuk menyelamatkan MK dan memulihkan kepercayaan rakyat yang terlanjur remuk redam.
Pertanyaannya, apakah untuk menyelamatkan Mahkamah Konstitusi dan
memulihkan kepercayaan rakyat pada MK mesti dengan menerbitkan Perppu?. Secara
konstitusi memanglah tidak salah presiden menerbitkan Peraturan Pemerintah
Penganti Undang-Undang, sesuai dengan konstitusi, presiden mempunyai hak untuk
mengajukan Perppu. Sudah menjadi kewajiban presiden untuk bersikap dan
bertindak ketika negara diterpa prahara seperti yang terjadi di MK, namun juga
tidak salah jika kemudian ada yang mengkritisi kebijakan presiden. Apalagi
kebijakan penerbitan Perppu MK ramai dengan perang tafsir.
Sesuai dengan pasal 22 UUD 1945, Presiden bisa mengajukan Perppu
dengan syarat ada kegentingan yang memaksa. Pertanyaannya, apakah kondisi di MK
sebegitu gentingnya ketika Akil ditangkap? Bukankah MK tetap bisa berjalan
tanpa Akil yang kini mendekam di rutan KPK? Tingkat kegentingan itu semakin
bias lantaran Perppu baru diajukan
setelah setengah bulan pasca ditangkapnya Akil. Selama itu pula Mahkamah
Konstitusi berupaya melakukan recoveri, pemulihan diri dari kegoncangan yang
menghantam pasca ditangkapnya Akil. Delapan hakim konstitusi yang tersisa masih
bisa memutuskan sengketa yang dimohonkan ke Mahkamah Konstitusi. Perppu
Mahkamah Konstitusi boleh jadi memang konstitusional, dalam artian itu adalah
hak konstitusional presiden, dan kita sepakat MK harus diselamatkan bukan untuk
sesaat.
Dari sisi konstitusi memang Perppu jelas bahwa Perppu ini
ditandatangani Presiden yang berarti bahwa Perppu ini sudah konstitusional,
tetapi dari prasyarat, apakah itu sudah memenuhi yang disyaratkan konstitusi
masih menjadi perdebatan. Pasal 22 UUD 1945 menyebutkan dalam hal ikhwal
kegentingan yang memaksa presiden bisa menerbitkan peraturan pemerintah
pengganti Undang-Undang. Namun definisi kegentingan yang memaksa tersebut
mejadi perdebatan. Ketua MK ditangkap KPK memang merupakan fakta, namun
kemudian yang menjadi perhatian adalah proses dari terbitnya Perppu yang
setengah bulan setelah penangkapan ketua MK tersebut menimbulkan pertanyaan,
apakah urgensi dari kegentingan yang memaksa itu masih bias kita terima?.
Ditangkapnya Akil, MK masih memiliki delapan hakim konstitusi yang masih bias
bersidang dan memutus sengketa pemilukada yang diajukan oleh para pemohon dan
berlangsung secara lancar dan masing-masing pihak menghargai proses dan hasil
dari MK tersebut. Dengan kata lain, system di MK pasca ditangkapnya Akil masih
bisa berjalan.
Kendati demikian, langkah presiden tersebut harus kita hormati,
apalagi Perppu mahkamah konstitusi sarat dengan semangat untuk membentengi MK
dari godaan kepentingan. Untuk menjadi hakim konstitusi misalnya, seseorang
tidak boleh menjadi anggota partai politik minimal selama tujuh tahun. Perppu
juga menjelaskan tentang rekrutmen hakim konstitusi. Perppu pun mengatur
pembentukan majelis kehormatan hakim konstitusi yang bersifat tetap yang
bertugas mengawasi mahkamah konstitusi. Selama ini meski memiliki kewenangan
luar biasa besar, MK bebas lepas tanpa pengawasan. Penyelamatan MK jika
dilakukan dengan cepat dan lebih tepat, misalnya dengan melakukan revisi
Undang-Undang tentang mahkamah konstitusi atau pemerintah bisa mengajukan
rancangan Undang-Undang baru.
Proses menghasilkan seorang hakim konstitusi yang ideal tidaklah
mudah dan melelahkan. Proses formal yang ada saat ini hendaknya tidak
menghasilkan hakim "pasaran", hakim yang hanya memutus dengan harga
dan permintaan "pasar", yang membuat hati rakyat terkhianati seperti
yang disangkakan pada Akil Mochtar..
Kekuasaan kehakiman tengah dirundung duka korupsi. Ranah kuasa
yudisial ini tak pernah berhenti menggadaikan putusannya. Dengan label
"Demi Ketuhanan yang Maha Esa", setiap ketukan palu sang hakim selalu
ada harganya. Masih sangat berbekas di ingatan kita ketika pengadilan tindak
pidana korupsi (tipikor) di beberapa daerah ramai-ramai memutus bebas banyak
terdakwa korupsi. Tak berselang lama kemudian terdengar kabar ada hakim tipikor
yang tertangkap tangan menerima suap.
Muara dari langkah presiden untuk menyelamatkan MK tersebut adalah
menciptakan Negara dan pemerintahan yang
berwibawa. Kita ketahui bahwa salah satu hal yang mengakibatkan ketidakwibawaan negara terjadi karena negara
tidak mampu menegakkan tertib hukum dan sosial.
Masalah penyelamatan mahkamah konstitusi yang merupakan lembaga
penegak konstitusi di Negara ini adalah hal yang sangat penting yang harus
ditangani dengan serius. ”Artinya, para elite politik harus fokus dan jernih
membahas Perppu tersebut di DPR.
Saat ini Perppu tersebut masih menjadi perdebatan. Perdebatan
tersebut berada di tangan DPR untuk dibahas dan disetujui, karena Perppu sudah
diajukan ke DPR, kita berharap DPR berpikir jernih dan dengan landasan
konstitusional, raktyat tidak ingin DPR membahas Perppu hanya dijadikan
komoditas politik. Kalau nantinya Perppu tersebut disetujui, semata-mata harus
karena dilatarbelakangi dengan semangat untuk menyelamatkan dan memulihkan
kepercayaan rakyat pada MK, begitu juga sebaliknya, penolakan tidak boleh
didasari untuk mempermalukan pemerintah/presiden.
Saat ini kejernihan elit politik benar-benar dirindukan dan
dinantikan oleh rakyat untuk benar-benar memulihkan kepercayaan terhadap
mahkamah konstitusi tersebut. Bila DPR bisa mengesampingkan kepentingan dan
tidak menjadikan komoditas politik dalam pembahasan Perppu tersebut, insyaallah
bukan hanya MK yang akan kembali mendapat kepercayaan rakyat, namun lebih dari
itu, DPR sendiri juga akan menerima dampak positif berupa serpihan kepercayaan
hati rakyat yang saat ini kepercayaan rakyat pada lembaga perwakilan rakyat
tersebut juga rendah. (*)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar