DIDIK EDI NURAJI, S.Sos, MM.
Alumni Pasca
Sarjana STIEKN Jayanegara Malang
Presiden Susilo
Bambang Yudhoyono (SBY) telah memberhentikan sementara Ketua Mahkamah
Konstitusi, Akil Mochtar yang ditetapkan sebagai tersangka kasus suap oleh KPK.
Selain 'memecat' Akil, Presiden juga mengeluarkan lima butir langkah penyelamatan MK paska pemberhentian
Akil itu. Sebagai kelanjutan dari langkah penyelamatan MK tersebut, selanjutnya
Presiden akan mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang
(Perpu), sebagaimana yang telah disampaikan dalam salah satu butir dalam agenda
penyelamatan MK tersebut.
Sontak banyak
pendapat mengalir dari rencana dikeluarkannya Perpu tersebut. Mayoritas
masyarakat menyambut positif dikeluarkannya Perpu yang merupakan langkah
penyelamatan konstitusi dan hokum di Indonesia ini. Salah satu tokoh
yang menyambut positif dan mendukung dikeluarkannya Perpu adalah Mantan Ketua
Mahkamah Konstitusi Mahfud MD.
Mahfud
berpendapat, Perpu itu memang wewenang konstitusional presiden. Kalau memang
ada alasan-alasan yang dianggap genting. MK saat ini sudah dihujani oleh kritik
dan kecurigaan. Sudah selaiknya seorang kepala negara mengambil langkah
strategis untuk melakukan penyelamatan.
Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang (atau disingkat Perpu) adalah Peraturan
Perundang-undangan yang ditetapkan oleh Presiden dalam hal ikhwal kegentingan
yang memaksa. Materi muatan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang adalah
sama dengan materi muatan Undang-Undang.
Perpu ditandatangani
oleh Presiden. Setelah diundangkan, Perpu harus diajukan ke DPR dalam
persidangan yang berikut, dalam bentuk pengajuan RUU tentang Penetapan Perpu
Menjadi Undang-Undang. Pembahasan RUU tentang penetapan Perpu menjadi
Undang-Undang dilaksanakan melalui mekanisme yang sama dengan pembahasan RUU.
DPR hanya dapat menerima atau menolak Perpu.
Jika Perpu
ditolak DPR, maka Perpu tersebut tidak berlaku, dan Presiden mengajukan RUU
tentang Pencabutan Perpu tersebut, yang dapat pula mengatur segala akibat dari
penolakan tersebut.
Penetapan perpu
merupakan hak dan kewenangan Presiden apabila terdapat hal kepentingan yang
memaksa yang diatur secara konstitusional dalam UUD 1945 pasal 22.
Sebelumnya,
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono telah mengeluarkan lima butir penyelamatan
MK, yaitu pertama, guna mengembalikan
citra MK di mata rakyat, dalam proses peradilan yang dilakukan di instansi
tersebut, harus dipastikan tidak ada penyimpangan dan sesuai prosedur yang
berlaku. Butir kedua, presiden dan para petinggi lembaga negara berharap Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK) mempercepat dan menuntaskan proses penyelidikan
kasus tersebut secara konklusif. Butir ketiga, presiden berencana menyiapkan
peraturan pengganti perundang undangan (Perppu) yang akan segera diajukan ke
DPR dan meminta masukan dari MA. Substansi dalam perppu tersebut antara lain,
mengatur seleksi hakim MK ke depannya.
Kemudian butir
keempat, dalam perppu tersebut, presiden akan mengembalikan fungsi pengawasan
hakim MK ke Komisi Yudisial. Karena, lembaga setinggi apapun perlu dilakukan
pengawasan guna memastikan kinerjanya tetap pada jalurnya.
Butir kelima,
lanjut Presiden, perlu adanya audit internal di tubuh MK saat ini. Bahkan, audit eksternal yang melibatkan
lembaga terkait perlu dilakukan.
Langkah cepat
presiden harus kita sambut positif. Beberapa waktu pasca ditangkapnya Akil
Mochtar, Presiden SBY langsung bertemu dengan pimpinan lembaga tinggi negara
dan didampingi sejumlah pejabat Kabinet. Sayangnya pertemuan tersebut tanpa
melibatkan MK, yang seharusnya justru amat berkepentingan untuk menyampaikan
posisinya dalam konfigurasi ketatanegaraan.
Layak untuk
dicermati mengenai rencana menerbitkan Perpu MK tersebut. Jika jadi
diterbitkan, maka Perpu itu akan menjadi Perpu ke-19 yang diterbitkan oleh
Presiden SBY. Dalam periode pertama (2004-2009) menjalankan kemudi negara,
sudah 18 Perpu yang diterbitkan Presiden. Dari 18 Perpu tersebut, 1 Perpu
ditolak oleh DPR dan 2 Perpu diperiksa oleh MK.
Pengertian
keadaan memaksa yang bersifat longgar tersebut harus pula diimbangi dengan
pengertian bahwa sebagai konsekuensi bergesernya kekuasaan membentuk
undang-undang dari Presiden ke DPR berdasarkan ketentuan Pasal 20 ayat (1) baru
juncto Pasal 5 ayat (1) baru UUD 1945, maka kedudukan DPR sebagai lembaga legislatif
makin dipertegas. Oleh karena itu, semua peraturan yang dikeluarkan oleh
Presiden haruslah mengacu kepada undang-undang dan UUD, dan tidak boleh lagi
bersifat mandiri dalam arti tidak untuk melaksanakan perintah undang-undang
adalah berbentuk Perpu yang dapat berlaku selama-lamanya 1 tahun.
Sekarang,
Presiden SBY menganggap permasalahan pelik yang mendera MK seiring dengan tertangkapnya
Akil Mochtar menjadi ‘hal ikhwal kegentingan yang memaksa’ dan menjadi
legitimasi pemerintah untuk menetapkan Perpu yang substansinya dianggap bisa menjadi
‘paket menyelamatkan MK’.
Sekalipun
substansinya baik, yaitu mempertajam aturan-aturan rekrutmen hakim dan potensi
pemberian wewenang pengawasan terhadap KY, namun lagi-lagi, di samping bisa
diperkarakan ke MK itu sendiri, materi itu berkaitan dengan hak asasi (para
hakim konstitusi) dan lembaga negara (MK). Menurut UU No. 12/2011 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, substansi itu adalah domain
Undang-Undang. Preseden penolakan DPR 1998-1999 bisa jadi pedoman bagi kalangan
DPR untuk meninjau Perpu itu.
Tidaklah
berlebihan bila kegentingan MK yang dimaksudkan salah satunya adalah terjun
bebasnya tingkat kepercayaan publik kepada Mahkamah Konstitusi pasca
penangkapan Akil Mochtar dalam OTT yang digelar oleh KPK.
Dalam survey
yang dilakukan Lingkaran Survei Indonesia, hanya 28 % publik yang percaya pada
MK saat ini dan 5,5 % menyatakan tidak tahu, yang berarti 66,5 % masyarakat
kita sudah tidak lagi percaya kepada MK. Yang mencengangkan, kasus Akil ternyata
berdampak pada rendahnya kepercayaan public terhadap para hakim konstitusi
lainnya.
Mungkin kita
sepakat, bahwa selama ini keberadaan MK sangat superior. MK berwenang menguji
Undang-Undang apa saja. Namun bagaimana bila nanti Perpu jadi ditetapkan oleh Presiden,
akankah MK akan menguji Perpu tersebut?
Meski kewenangan
itu diatur oleh Undang-Undang dasar 1945, namun etisnya akankah MK akan menguji
sebuah regulasi yang mengatur dirinya sendiri? Kita semua setuju, bahwa Perpu
yang akan ditetapkan oleh Presiden ini
adalah sebagai bentuk kecintaan kepada lembaga penegak konstitusi
tersebut yang nantinya bermuara pada penyempurnaan sistem tata Negara di bumi
nusantara tercinta ini. Mungkin kita selalu terbiasa dengan sebuah filosofi
lama bahwa hikmah selalu datang seiring dengan musibah. Momentum pasca
tertangkapnya AKIL Mochtar ini mungkin baiknya kita jadikan langkah awal untuk
sedikit membatasi kewenangan pada MK sesuai dengan apa yang diamanatkan
konstitusi agar tidak lagi menjadi sebuah institusi yang superior (*)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar