Senin, 07 Oktober 2013

Menakar Urgensi Perpu ‘MK’




DIDIK EDI NURAJI, S.Sos, MM.
Alumni Pasca Sarjana STIEKN Jayanegara Malang

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) telah memberhentikan sementara Ketua Mahkamah Konstitusi, Akil Mochtar yang ditetapkan sebagai tersangka kasus suap oleh KPK. Selain 'memecat' Akil, Presiden juga mengeluarkan lima butir  langkah penyelamatan MK paska pemberhentian Akil itu. Sebagai kelanjutan dari langkah penyelamatan MK tersebut, selanjutnya Presiden akan mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu), sebagaimana yang telah disampaikan dalam salah satu butir dalam agenda penyelamatan MK tersebut.
Sontak banyak pendapat mengalir dari rencana dikeluarkannya Perpu tersebut. Mayoritas masyarakat menyambut positif dikeluarkannya Perpu yang merupakan langkah penyelamatan konstitusi dan hokum di Indonesia ini. Salah satu tokoh yang menyambut positif dan mendukung dikeluarkannya Perpu adalah Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud MD.
 
Mahfud berpendapat, Perpu itu memang wewenang konstitusional presiden. Kalau memang ada alasan-alasan yang dianggap genting. MK saat ini sudah dihujani oleh kritik dan kecurigaan. Sudah selaiknya seorang kepala negara mengambil langkah strategis untuk melakukan penyelamatan.
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (atau disingkat Perpu) adalah Peraturan Perundang-undangan yang ditetapkan oleh Presiden dalam hal ikhwal kegentingan yang memaksa. Materi muatan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang adalah sama dengan materi muatan Undang-Undang.
Perpu ditandatangani oleh Presiden. Setelah diundangkan, Perpu harus diajukan ke DPR dalam persidangan yang berikut, dalam bentuk pengajuan RUU tentang Penetapan Perpu Menjadi Undang-Undang. Pembahasan RUU tentang penetapan Perpu menjadi Undang-Undang dilaksanakan melalui mekanisme yang sama dengan pembahasan RUU. DPR hanya dapat menerima atau menolak Perpu.
Jika Perpu ditolak DPR, maka Perpu tersebut tidak berlaku, dan Presiden mengajukan RUU tentang Pencabutan Perpu tersebut, yang dapat pula mengatur segala akibat dari penolakan tersebut.
Penetapan perpu merupakan hak dan kewenangan Presiden apabila terdapat hal kepentingan yang memaksa yang diatur secara konstitusional dalam UUD 1945 pasal 22.
Sebelumnya, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono telah mengeluarkan lima butir penyelamatan MK, yaitu  pertama, guna mengembalikan citra MK di mata rakyat, dalam proses peradilan yang dilakukan di instansi tersebut, harus dipastikan tidak ada penyimpangan dan sesuai prosedur yang berlaku. Butir kedua, presiden dan para petinggi lembaga negara berharap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mempercepat dan menuntaskan proses penyelidikan kasus tersebut secara konklusif. Butir ketiga, presiden berencana menyiapkan peraturan pengganti perundang undangan (Perppu) yang akan segera diajukan ke DPR dan meminta masukan dari MA. Substansi dalam perppu tersebut antara lain, mengatur seleksi hakim MK ke depannya.
Kemudian butir keempat, dalam perppu tersebut, presiden akan mengembalikan fungsi pengawasan hakim MK ke Komisi Yudisial. Karena, lembaga setinggi apapun perlu dilakukan pengawasan guna memastikan kinerjanya tetap pada jalurnya.
Butir kelima, lanjut Presiden, perlu adanya audit internal di tubuh MK saat ini.  Bahkan, audit eksternal yang melibatkan lembaga terkait perlu dilakukan.
Langkah cepat presiden harus kita sambut positif. Beberapa waktu pasca ditangkapnya Akil Mochtar, Presiden SBY langsung bertemu dengan pimpinan lembaga tinggi negara dan didampingi sejumlah pejabat Kabinet. Sayangnya pertemuan tersebut tanpa melibatkan MK, yang seharusnya justru amat berkepentingan untuk menyampaikan posisinya dalam konfigurasi ketatanegaraan.
Layak untuk dicermati mengenai rencana menerbitkan Perpu MK tersebut. Jika jadi diterbitkan, maka Perpu itu akan menjadi Perpu ke-19 yang diterbitkan oleh Presiden SBY. Dalam periode pertama (2004-2009) menjalankan kemudi negara, sudah 18 Perpu yang diterbitkan Presiden. Dari 18 Perpu tersebut, 1 Perpu ditolak oleh DPR dan 2 Perpu diperiksa oleh MK.
Pengertian keadaan memaksa yang bersifat longgar tersebut harus pula diimbangi dengan pengertian bahwa sebagai konsekuensi bergesernya kekuasaan membentuk undang-undang dari Presiden ke DPR berdasarkan ketentuan Pasal 20 ayat (1) baru juncto Pasal 5 ayat (1) baru UUD 1945, maka kedudukan DPR sebagai lembaga legislatif makin dipertegas. Oleh karena itu, semua peraturan yang dikeluarkan oleh Presiden haruslah mengacu kepada undang-undang dan UUD, dan tidak boleh lagi bersifat mandiri dalam arti tidak untuk melaksanakan perintah undang-undang adalah berbentuk Perpu yang dapat berlaku selama-lamanya 1 tahun.
Sekarang, Presiden SBY menganggap permasalahan pelik yang mendera MK seiring dengan tertangkapnya Akil Mochtar menjadi ‘hal ikhwal kegentingan yang memaksa’ dan menjadi legitimasi pemerintah untuk menetapkan Perpu yang substansinya dianggap bisa menjadi ‘paket menyelamatkan MK’.
Sekalipun substansinya baik, yaitu mempertajam aturan-aturan rekrutmen hakim dan potensi pemberian wewenang pengawasan terhadap KY, namun lagi-lagi, di samping bisa diperkarakan ke MK itu sendiri, materi itu berkaitan dengan hak asasi (para hakim konstitusi) dan lembaga negara (MK). Menurut UU No. 12/2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, substansi itu adalah domain Undang-Undang. Preseden penolakan DPR 1998-1999 bisa jadi pedoman bagi kalangan DPR untuk meninjau Perpu itu.
Tidaklah berlebihan bila kegentingan MK yang dimaksudkan salah satunya adalah terjun bebasnya tingkat kepercayaan publik kepada Mahkamah Konstitusi pasca penangkapan Akil Mochtar dalam OTT yang digelar oleh KPK.
Dalam survey yang dilakukan Lingkaran Survei Indonesia, hanya 28 % publik yang percaya pada MK saat ini dan 5,5 % menyatakan tidak tahu, yang berarti 66,5 % masyarakat kita sudah tidak lagi percaya kepada MK. Yang mencengangkan, kasus Akil ternyata berdampak pada rendahnya kepercayaan public terhadap para hakim konstitusi lainnya.
Mungkin kita sepakat, bahwa selama ini keberadaan MK sangat superior. MK berwenang menguji Undang-Undang apa saja. Namun bagaimana bila nanti Perpu jadi ditetapkan oleh Presiden, akankah MK akan menguji Perpu tersebut?
Meski kewenangan itu diatur oleh Undang-Undang dasar 1945, namun etisnya akankah MK akan menguji sebuah regulasi yang mengatur dirinya sendiri? Kita semua setuju, bahwa Perpu yang akan ditetapkan oleh Presiden ini  adalah sebagai bentuk kecintaan kepada lembaga penegak konstitusi tersebut yang nantinya bermuara pada penyempurnaan sistem tata Negara di bumi nusantara tercinta ini. Mungkin kita selalu terbiasa dengan sebuah filosofi lama bahwa hikmah selalu datang seiring dengan musibah. Momentum pasca tertangkapnya AKIL Mochtar ini mungkin baiknya kita jadikan langkah awal untuk sedikit membatasi kewenangan pada MK sesuai dengan apa yang diamanatkan konstitusi agar tidak lagi menjadi sebuah institusi yang superior (*)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar