DIDIK
EDI NURAJI, S.Sos, MM.
Alumni Pasca Sarjana STIEKN Jayanegara
Malang
Asumsi bahwa Pemilihan Presiden dan
Wakil Presiden (Pilpres) 2014 mendatang tidak akan diikuti oleh banyak calon
mendekati kenyataan. Pasalnya, revisi Undang-Undang nomor 42 tahun 2008 mandapat
penolakan dari mayoritas fraksi besar di gedung dewan. Urung direvisinya UU
Pilpres tersebut membuat tertutup ruang bagi calon yang memiliki kredibelitas
dan integritas yang kuat untuk ikut maju dalam Pilpres.
Mentalnya keinginan untuk merevisi UU
Pilpres setelah dalam Rapat pleno Badan Legislasi (Baleg) DPR memutuskan
penghentian pembahasan revisi UU No 42/2008 tentang Pemilihan Presiden
(Pilpres). Penghentian dilakukan karena setelah hampir setahun lebih pembahasan
tidak juga dicapai titik temu antara fraksi soal penetapan presidential
thereshold. Pembahasan dihentikan, revisi UU Pilpres dihentikan. Dengan
ditolaknya rencana merevisi UU tersebut berarti akan tetap menggunakan
undang-undang lama untuk pilpres mendatang.
Banyak kalangan menyayangkan pembatasan
perolehan suara parpol karena dianggap menjadi hambatan bagi para calon yang
diusung oleh parpol. Ketika ada pembatasan dengan elektabilitas tertentu pada
level partai, tentu akan berdampak pada sedikitnya pilihan yang muncul dari
parpol bersangkutan untuk mengusulkan capres.
Secara otomatis dengan elektabilitas
tertentu yang ditarget tinggi sudah dapat dipastikan bahwa hanya parpol besar
yang dapat mengusung calon, sedangkan parpol yang lain akan kesulitan, di
samping juga di tingkat awal akan selalu memunculkan koalisi.
Sementara di sisi yang lain akan muncul
koalisi awal dari parpol karena yang boleh mengajukan adalah parpol atau
gabungan parpol. Ini juga menjadi alat posisi tawar yang nantinya terjebak
kepada politik dagang sapi dalam memunculkan figur.
Aspirasi publik untuk memunculkan calon
presiden alternatif dalam Pilpres 2014
semakin deras. Karena itu, untuk mendukung aspirasi publik yang menghendaki ada
figur alternatif, maka ada usulan agar angka presidential thrshold turun dari
20 persen menjadi 3,5 persen.
Bila ambang batas parlemen itu sekitar
3,5 persen, maka akan ada sekitar tujuh sampai delapan partai yang bisa lolos
ke Senayan. Namun demikian, tidak otomatis akan serta merta ada tujuh hingga
delapan pasangan capres dan cawapres.
Diletakkan dalam konteks pembaruan dan
peningkatan kualitas pemilu presiden dan wakil presiden, penolakan untuk
penurunan ambang batas benar-benar menutup upaya merevisi UU No 42/2008.
Padahal, di luar persoalan ambang batas, disadari bahwa sebagian substansi UU
No 42/2008 masih perlu diperbaiki. Apalagi, pilihan penolakan dengan alasan
memperkuat sistem presidensial belum tentu linear dengan kebutuhan praktik.
Pada tataran teori, dalam sistem
presidensial, di antara isu yang tak pernah usai dibahas dan diperdebatkan:
bagaimana mendamaikan antara pemegang kuasa eksekutif dan legislatif. Sebagai
institusi yang sama-sama mendapat mandat langsung dari rakyat, keduanya hampir
dapat dipastikan akan memakai logika mendapatkan mandat itu saat membangun
relasi eksekutif-legislatif. Itu sebabnya, logika memperkuat sistem
presidensial dengan berpikir bahwa tak akan terjadi ketegangan hubungan di
antara keduanya tidak tepat.
Menggunakan hasil pemilu anggota
legislatif sebagai modal mengajukan pasangan calon presiden dan wakil presiden
dengan alasan memperkuat sistem presidensial dapat dikatakan tak tepat dan
sangat mengada-ada. Sekadar cacatan, memperkuat sistem presidensial dengan cara
berpikir mendorong presiden harus mendapat dukungan mayoritas di legislatif
akan dengan mudah memerosokkan praktik pemerintahan ke dalam rezim otoriter.
Pada batas-batas tertentu, pengalaman praktik sistem presidensial sepanjang
Orde Lama dan Orde Baru membuktikan bagaimana perangkap rezim otoriter itu
bekerja.
Selain pijakan teoretik, secara
konstitusional, mempertahankan ambang batas untuk memperkuat sistem
presidensial berbeda dengan maksud perumusan konstitusi. Dalam hal ini, Pasal
6A Ayat (2) UUD 1945 menyatakan bahwa pasangan calon presiden dan wakil
presiden diusulkan partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu.
Dari ketentuan ini, semua partai politik yang dinyatakan lolos sebagai peserta
pemilu berhak mengajukan pasangan calon presiden dan wakil presiden. Artinya,
dari pengaturan di dalam UUD 1945, ambang batas tak dikenal. Karena itu,
mempertahankan ambang batas sama saja dengan memelihara cacat konstitusional
dalam proses pemilihan presiden dan wakil presiden.
Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 menyatakan bahwa kedaulatan berada di tangan rakyat dan
dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar. Salah satu wujud dari kedaulatan
rakyat adalah penyelenggaraan Pemilihan Umum untuk memilih Presiden dan Wakil
Presiden yang dilaksanakan secara demokratis dan beradab melalui partisipasi
rakyat seluas-luasnya berdasarkan asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur,
dan adil.
Pasal 6A Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 menyatakan bahwa Presiden dan Wakil Presiden
dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat. Pasangan Calon
Presiden dan Wakil Presiden diusulkan oleh Partai Politik atau Gabungan Partai
Politik peserta pemilihan umum sebelum pelaksanaan Pemilihan Umum.1 Dan
undang-undang ini menggantikan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2003 tentang
Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden sebelumnya.
Argumen beragam muncul sebagai alasan
dalam menolak revisi UU Pilpres tersebut. Diantaranya adalah karena mepetnya
waktu yang ada. Dengan waktu yang mepet tersebut tidak dimungkinkan untuk merevisi
UU Pilpres tersebut, karena masih banyak pekerjaaan lain. Selain itu ada pula
yang mengemukakan penolakan revisi UU Pilpres bila hanya memperdebatkan ambang
batas pengajuan calon presiden.
Para pengusung revisi (yang setuju untuk
melakukan revisi) berpendapat, perubahan ambang batas pengajuan calon presiden
perlu dilakukan untuk memperkuat sistem presidensial.
Proses ini adalah bagian dalam merekrut
pemimpin bangsa. Bagaimana mungkin kita mendapatkan putra-putri terbaik untuk
menjadi menjadi pemimpin nasional kalau dibatasi oleh persentase 10 atau 20
persen sebagai syarat pengajuan calon presiden. Semoga saja dengan opsi ini ada
hikmah yang lebih besar yang bisa dipetik dalam kehidupan berdemokrasi di
Negara Indonesia tercinta ini. (*)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar