Senin, 07 Oktober 2013

Tertutupnya Ruang Capres Alternatif




DIDIK EDI NURAJI, S.Sos, MM.
Alumni Pasca Sarjana STIEKN Jayanegara Malang


Asumsi bahwa Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden (Pilpres) 2014 mendatang tidak akan diikuti oleh banyak calon mendekati kenyataan. Pasalnya, revisi Undang-Undang nomor 42 tahun 2008 mandapat penolakan dari mayoritas fraksi besar di gedung dewan. Urung direvisinya UU Pilpres tersebut membuat tertutup ruang bagi calon yang memiliki kredibelitas dan integritas yang kuat untuk ikut maju dalam Pilpres.
Mentalnya keinginan untuk merevisi UU Pilpres setelah dalam Rapat pleno Badan Legislasi (Baleg) DPR memutuskan penghentian pembahasan revisi UU No 42/2008 tentang Pemilihan Presiden (Pilpres). Penghentian dilakukan karena setelah hampir setahun lebih pembahasan tidak juga dicapai titik temu antara fraksi soal penetapan presidential thereshold.  Pembahasan dihentikan, revisi UU Pilpres dihentikan. Dengan ditolaknya rencana merevisi UU tersebut berarti akan tetap menggunakan undang-undang lama untuk pilpres mendatang.

Banyak kalangan menyayangkan pembatasan perolehan suara parpol karena dianggap menjadi hambatan bagi para calon yang diusung oleh parpol. Ketika ada pembatasan dengan elektabilitas tertentu pada level partai, tentu akan berdampak pada sedikitnya pilihan yang muncul dari parpol bersangkutan untuk mengusulkan capres.
Secara otomatis dengan elektabilitas tertentu yang ditarget tinggi sudah dapat dipastikan bahwa hanya parpol besar yang dapat mengusung calon, sedangkan parpol yang lain akan kesulitan, di samping juga di tingkat awal akan selalu memunculkan koalisi.
Sementara di sisi yang lain akan muncul koalisi awal dari parpol karena yang boleh mengajukan adalah parpol atau gabungan parpol. Ini juga menjadi alat posisi tawar yang nantinya terjebak kepada politik dagang sapi dalam memunculkan figur.
Aspirasi publik untuk memunculkan calon presiden alternatif  dalam Pilpres 2014 semakin deras. Karena itu, untuk mendukung aspirasi publik yang menghendaki ada figur alternatif, maka ada usulan agar angka presidential thrshold turun dari 20 persen menjadi 3,5 persen.
Bila ambang batas parlemen itu sekitar 3,5 persen, maka akan ada sekitar tujuh sampai delapan partai yang bisa lolos ke Senayan. Namun demikian, tidak otomatis akan serta merta ada tujuh hingga delapan pasangan capres dan cawapres.
Diletakkan dalam konteks pembaruan dan peningkatan kualitas pemilu presiden dan wakil presiden, penolakan untuk penurunan ambang batas benar-benar menutup upaya merevisi UU No 42/2008. Padahal, di luar persoalan ambang batas, disadari bahwa sebagian substansi UU No 42/2008 masih perlu diperbaiki. Apalagi, pilihan penolakan dengan alasan memperkuat sistem presidensial belum tentu linear dengan kebutuhan praktik.
Pada tataran teori, dalam sistem presidensial, di antara isu yang tak pernah usai dibahas dan diperdebatkan: bagaimana mendamaikan antara pemegang kuasa eksekutif dan legislatif. Sebagai institusi yang sama-sama mendapat mandat langsung dari rakyat, keduanya hampir dapat dipastikan akan memakai logika mendapatkan mandat itu saat membangun relasi eksekutif-legislatif. Itu sebabnya, logika memperkuat sistem presidensial dengan berpikir bahwa tak akan terjadi ketegangan hubungan di antara keduanya tidak tepat.
Menggunakan hasil pemilu anggota legislatif sebagai modal mengajukan pasangan calon presiden dan wakil presiden dengan alasan memperkuat sistem presidensial dapat dikatakan tak tepat dan sangat mengada-ada. Sekadar cacatan, memperkuat sistem presidensial dengan cara berpikir mendorong presiden harus mendapat dukungan mayoritas di legislatif akan dengan mudah memerosokkan praktik pemerintahan ke dalam rezim otoriter. Pada batas-batas tertentu, pengalaman praktik sistem presidensial sepanjang Orde Lama dan Orde Baru membuktikan bagaimana perangkap rezim otoriter itu bekerja.
Selain pijakan teoretik, secara konstitusional, mempertahankan ambang batas untuk memperkuat sistem presidensial berbeda dengan maksud perumusan konstitusi. Dalam hal ini, Pasal 6A Ayat (2) UUD 1945 menyatakan bahwa pasangan calon presiden dan wakil presiden diusulkan partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu. Dari ketentuan ini, semua partai politik yang dinyatakan lolos sebagai peserta pemilu berhak mengajukan pasangan calon presiden dan wakil presiden. Artinya, dari pengaturan di dalam UUD 1945, ambang batas tak dikenal. Karena itu, mempertahankan ambang batas sama saja dengan memelihara cacat konstitusional dalam proses pemilihan presiden dan wakil presiden.
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menyatakan bahwa kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar. Salah satu wujud dari kedaulatan rakyat adalah penyelenggaraan Pemilihan Umum untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden yang dilaksanakan secara demokratis dan beradab melalui partisipasi rakyat seluas-luasnya berdasarkan asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil.
Pasal 6A Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menyatakan bahwa Presiden dan Wakil Presiden dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat. Pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden diusulkan oleh Partai Politik atau Gabungan Partai Politik peserta pemilihan umum sebelum pelaksanaan Pemilihan Umum.1 Dan undang-undang ini menggantikan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden sebelumnya.
Argumen beragam muncul sebagai alasan dalam menolak revisi UU Pilpres tersebut. Diantaranya adalah karena mepetnya waktu yang ada. Dengan waktu yang mepet tersebut tidak dimungkinkan untuk merevisi UU Pilpres tersebut, karena masih banyak pekerjaaan lain. Selain itu ada pula yang mengemukakan penolakan revisi UU Pilpres bila hanya memperdebatkan ambang batas pengajuan calon presiden.
Para pengusung revisi (yang setuju untuk melakukan revisi) berpendapat, perubahan ambang batas pengajuan calon presiden perlu dilakukan untuk memperkuat sistem presidensial.
Proses ini adalah bagian dalam merekrut pemimpin bangsa. Bagaimana mungkin kita mendapatkan putra-putri terbaik untuk menjadi menjadi pemimpin nasional kalau dibatasi oleh persentase 10 atau 20 persen sebagai syarat pengajuan calon presiden. Semoga saja dengan opsi ini ada hikmah yang lebih besar yang bisa dipetik dalam kehidupan berdemokrasi di Negara Indonesia tercinta ini. (*)
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar