Senin, 16 September 2013

Kebijakan Ekonomi & Upaya Penguatan Rupiah



Oleh : DIDIK EDI NURAJI, S.Sos, MM
Alumni Pasca Sarjana STIEKN Jayanegara Malang


Empat paket kebijakan ekonomi yang dikeluarkan pemerintah beberapa waktu lalu dinilai sebagai kebijakan yang terlambat yang diprediksi manfaatnya baru akan terlihat pada semester pertama tahun depan. Dalam mekanisme perekonomian, paket kebijakan tersebut cukup baik. Tetapi bila diaplikasikan terhadap sektor industri, riil dan pelaku usaha akan berhadapan dengan banyak persoalan.
Untuk jangka pendek, kenaikan pajak dimungkinkan akan tetap berlanjut. Meski dikeluarkan kebijakan pengurangan pajak ekspor padat karya yang memiliki minimal ekspor 30 persen. Di sisi lain, pemerintah tidak bisa mengambil langkah lain yang memerlukan pembiayaan. Lantaran APBN Perubahan sudah disahkan.

Karenanya, langkah regulatif jangka pendek  harus dikonkritkan secepat mungkin oleh pemerintah.Sebenarnya yang paling pokok adalah jangka sangat pendek antara satu sampai 30 hari, yakni paling pokok persoalan nilai tukar.
Devisa Hasil Ekspor (DHE) yang masih banyak "parkir" di luar negeri, menurutnya jika itu dioptimalkan untuk dikembalikan ke dalam negeri berpotensi memberikan penguatan kepada rupiah.
Dengan  pondasi ekonomi Indonesia tergolong rapuh karena cadangan devisa lebih banyak dikontribusi oleh dana-dana jangka pendek. Nilai tukar diprediksi akan terus melemah dan berpotensi menyentuh level Rp12.000 per dolar AS. Nilai tukar rupiah yang terus melemah dan runtuhnya Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) dalam beberapa hari terakhir ini harus segera menjadi perhatian serius pemerintah dan otoritas ekonomi di Indonesia.
Selain itu, kondisi perekonomian global juga semakin tidak mendukung termasuk utamanya disebabkan dolar AS yang menguat dan menunjukkan sikap dari Bank Sentral Amerika The Fed terkait dengan kebijakan stimulus moneter.
Paket kebijakan untuk mengurangi tekanan kurs rupiah serta defisit neraca perdagangan dan transaksi berjalan itu cukup baik. Namun bisa jadi paket kebijakan itu sangat sulit direalisasikan. Stimulus fiskal perlu digelar agar eksportir lebih bergairah melakukan ekspor barang dan jasa ke negara-negara yang sedang dalam pemulihan ekonomi, seperti AS dan Jepang.
Paket kebijakan penyelamatan ekonomi itu dalam waktu singkat direspons positif oleh pasar. Sebab, apa yang diajukan pemerintah lebih bersifat jangka menengah dan panjang. Artinya, paket itu tidak berdampak seketika membendung pelemahan rupiah.
Sumber masalah yang terus menekan rupiah bukan hanya defisit dalam neraca perdagangan maupun neraca pembayaran, melainkan juga utang luar negeri.
Kondisi tersebut ditambah lagi momentum saat ini yang merupakan tahun politik yang jelas akan berpengaruh pada kondisi makro ekonomi kita. Sejak akhir Desember 2012 hingga 23 Agustus 2013 nilai tukar rupiah mengalami depresiasi sebesar 10,9 persen (year to date) yang disebabkan penguatan nilai tukar dolar AS. Tek hanya itu, fondasi ekonomi Indonesia tergolong rapuh karena cadangan devisa lebih banyak dikontribusi oleh dana-dana jangka pendek. Selain itu, kondisi perekonomian global juga makin tidak mendukung, termasuk utamanya disebabkan dolar AS yang menguat dan menunjukkan sikap dari bank sentral Amerika, The Federal Reserve (The Fed), terkait dengan kebijakan stimulus moneter.
Data terbaru yang dikeluarkan Bank Indonesia menunjukan, defisit transaksi berjalan pada kuartal II-2013 membengkak hingga US$ 9,8 miliar atau 4,4% dari Produk Domestik Bruto (PDB). Tiga bulan pertama 2013, defisit transaksi berjalan hanya berada di kisaran 2,6% dari PDB.
Peningkatan defisit transaksi berjalan tersebut dipicu menyusutnya surplus neraca perdagangan nonmigas dan melebarnya defisit neraca jasa dan pendapatan. Tak hanya Indonesia, negara berkembang lain yang ikut terhantam ekonomi serupa adalah India. Neraca transaksi berjalan dan anggaran dari negara di kawasan Asia Selatan ini tercatat membengkak setidaknya dalam dua tahun terakhir.
Negara berkembang khususnya Indonesia dan India masih berkesempatan mencegah terjerumusnya ekonomi negaranya masuk dalam pusaran krisis.  Dengan melakukan beberapa upaya yang bisa diterapkan pemerintah, diantaranya, pertama, Lingkungan ekonomi eksternal terkini dan dampak kebijakan ekonomi terdahulu membatasi pilihan jalan keluar. Kedua, Bank Indonesia (BI) harus menaikan suku bunganya 50 basis poin dan memberikan sinyal penguatan ekonomi. Ketiga, sumber-sumber pendanaan non-komersial harus ditekan oleh kedua negara. Keempat, sumber-sumber pendanaan non-komersial harus ditekan oleh kedua negara.
Indonesia terus membayar para kreditor bilateral maupun multilateral sejak 2004. Dengan kondisi pasar saat ini, para analis meyakini jaminan pergantian pendanaan. Indonesia memiliki fasilitas kontigensi siap pakai senilai US$ 5 miliar untuk dana anggara (US$ 2 miliar dari Bank Dunia, US$ 1,5 miliar dari Jepang, US$ 1 miliar dari Australia, dan US$ 0,5 miliar dari Asian Development Bank) yang seharusnya ditekan.
Namun sayang, pengaturan penukaran mata uang yang ada terlalu kecil untuk digunakan. Indonesia tengah berada di Chiang Mai initiative (CMIM); dengan penarikan maksimal US$ 22,8 miliar. Namun porsi yang terhubung dengan IMF hanya bernilai US$ 6,8% atau 30% dari jumlah tersebut. Mengingat tak ada negara yang mengurangi dana dari CMIM, menjadi yang pertama bisa mengundang stigma politik. India memiliki dana US$ 15 miliar untuk penukaran bilateral dengan Jepang. Namun hanya sebesar 20% atau senilai US$ 3 miliar yang bisa ditarik tanpa bantuan IMF. Jadi jumlahnya terlalu sedikit. (Shd)
Paket kebijakan yang dikeluarkan pemerintah cukup baik untuk meningkatkan investasi khususnya FDI yang cenderung meningkat dalam semester I 2013 ini. Namun  masalah yang harus diperhatikan adalah seberapa cepat penerapan kebijakan-kebijakan tersebut karena sangat menentukan seberapa efektifnya dampak positifnya terhadap aliran investasi FDI yang pada akhirnya dapat mendorong juga pertumbuhan ekonomi.
Kemungkinan kebijakan pemerintah terkait investasi tersebut baru akan terlihat pada kuarta I-2014, mengingat proses revisi daftar negatif investasi hingga saat ini masih belum selesai pembahasannya.
Dampak dari kebijakan-kebijakan tersebut baru akan terefleksi pada perbaikan neraca transaksi berjalan pada kuartal I-2014, mengingat realisasi dan seberapa cepat penerapan kebijakan tersebut dilakukan,
Kita semua berharap, paket kebijakan ini akan dikombinasikan juga dengan paket kebijakan dari Bank Indonesia (BI) dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) yang utamanya bertujuan menstabilkan sektor keuangan dan nilai tukar.  Kebijakan 4+1 yang dikeluarkan Bank Indonesia diharapkan memperkuat paket kebijakan ekonomi pemerintah untuk menjaga stabilitas pasar keuangan dan ekomoni makro. Lima langkah kebijakan itu diharapkan bisa memperlancar aliran likuiditas antar bank, semoga…! (*)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar