Oleh
: DIDIK EDI NURAJI, S.Sos, MM
Alumni Pasca Sarjana STIEKN
Jayanegara Malang
Empat
paket kebijakan ekonomi yang dikeluarkan pemerintah beberapa waktu lalu dinilai
sebagai kebijakan yang terlambat yang diprediksi manfaatnya baru akan terlihat
pada semester pertama tahun depan. Dalam mekanisme perekonomian, paket
kebijakan tersebut cukup baik. Tetapi bila diaplikasikan terhadap sektor
industri, riil dan pelaku usaha akan berhadapan dengan banyak persoalan.
Untuk
jangka pendek, kenaikan pajak dimungkinkan akan tetap berlanjut. Meski
dikeluarkan kebijakan pengurangan pajak ekspor padat karya yang memiliki
minimal ekspor 30 persen. Di sisi lain, pemerintah tidak bisa mengambil langkah
lain yang memerlukan pembiayaan. Lantaran APBN Perubahan sudah disahkan.
Karenanya,
langkah regulatif jangka pendek harus
dikonkritkan secepat mungkin oleh pemerintah.Sebenarnya yang paling pokok
adalah jangka sangat pendek antara satu sampai 30 hari, yakni paling pokok
persoalan nilai tukar.
Devisa
Hasil Ekspor (DHE) yang masih banyak "parkir" di luar negeri,
menurutnya jika itu dioptimalkan untuk dikembalikan ke dalam negeri berpotensi
memberikan penguatan kepada rupiah.
Dengan pondasi ekonomi Indonesia tergolong rapuh
karena cadangan devisa lebih banyak dikontribusi oleh dana-dana jangka pendek.
Nilai tukar diprediksi akan terus melemah dan berpotensi menyentuh level
Rp12.000 per dolar AS. Nilai tukar rupiah yang terus melemah dan runtuhnya
Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) dalam beberapa hari terakhir ini harus
segera menjadi perhatian serius pemerintah dan otoritas ekonomi di Indonesia.
Selain
itu, kondisi perekonomian global juga semakin tidak mendukung termasuk utamanya
disebabkan dolar AS yang menguat dan menunjukkan sikap dari Bank Sentral
Amerika The Fed terkait dengan kebijakan stimulus moneter.
Paket kebijakan untuk mengurangi tekanan kurs rupiah serta defisit neraca
perdagangan dan transaksi berjalan itu cukup baik. Namun bisa jadi paket
kebijakan itu sangat sulit direalisasikan. Stimulus fiskal perlu digelar agar
eksportir lebih bergairah melakukan ekspor barang dan jasa ke negara-negara
yang sedang dalam pemulihan ekonomi, seperti AS dan Jepang.
Paket kebijakan penyelamatan ekonomi itu dalam waktu singkat direspons positif
oleh pasar. Sebab, apa yang diajukan pemerintah lebih bersifat jangka menengah
dan panjang. Artinya, paket itu tidak berdampak seketika membendung pelemahan
rupiah.
Sumber masalah yang terus menekan rupiah bukan hanya defisit dalam neraca
perdagangan maupun neraca pembayaran, melainkan juga utang luar negeri.
Kondisi
tersebut ditambah lagi momentum saat ini yang merupakan tahun politik yang
jelas akan berpengaruh pada kondisi makro ekonomi kita. Sejak akhir Desember
2012 hingga 23 Agustus 2013 nilai tukar rupiah mengalami depresiasi sebesar
10,9 persen (year to date) yang disebabkan penguatan nilai tukar dolar AS. Tek
hanya itu, fondasi ekonomi Indonesia tergolong rapuh karena
cadangan devisa lebih banyak dikontribusi oleh dana-dana jangka pendek. Selain
itu, kondisi perekonomian global juga makin tidak mendukung, termasuk utamanya
disebabkan dolar AS yang menguat dan menunjukkan sikap dari bank sentral
Amerika, The Federal Reserve (The Fed), terkait dengan kebijakan stimulus
moneter.
Data
terbaru yang dikeluarkan Bank Indonesia menunjukan, defisit transaksi berjalan
pada kuartal II-2013 membengkak hingga US$ 9,8 miliar atau 4,4% dari Produk
Domestik Bruto (PDB). Tiga bulan pertama 2013, defisit transaksi berjalan hanya
berada di kisaran 2,6% dari PDB.
Peningkatan
defisit transaksi berjalan tersebut dipicu menyusutnya surplus neraca
perdagangan nonmigas dan melebarnya defisit neraca jasa dan pendapatan. Tak
hanya Indonesia, negara berkembang lain yang ikut terhantam ekonomi serupa
adalah India. Neraca transaksi berjalan dan anggaran dari negara di kawasan
Asia Selatan ini tercatat membengkak setidaknya dalam dua tahun terakhir.
Negara
berkembang khususnya Indonesia dan India masih berkesempatan mencegah
terjerumusnya ekonomi negaranya masuk dalam pusaran krisis. Dengan melakukan beberapa upaya yang bisa
diterapkan pemerintah, diantaranya, pertama, Lingkungan ekonomi eksternal
terkini dan dampak kebijakan ekonomi terdahulu membatasi pilihan jalan keluar.
Kedua, Bank Indonesia (BI) harus menaikan suku bunganya 50 basis poin dan
memberikan sinyal penguatan ekonomi. Ketiga, sumber-sumber pendanaan
non-komersial harus ditekan oleh kedua negara. Keempat, sumber-sumber pendanaan
non-komersial harus ditekan oleh kedua negara.
Indonesia
terus membayar para kreditor bilateral maupun multilateral sejak 2004. Dengan
kondisi pasar saat ini, para analis meyakini jaminan pergantian pendanaan.
Indonesia memiliki fasilitas kontigensi siap pakai senilai US$ 5 miliar untuk
dana anggara (US$ 2 miliar dari Bank Dunia, US$ 1,5 miliar dari Jepang, US$ 1
miliar dari Australia, dan US$ 0,5 miliar dari Asian Development Bank) yang
seharusnya ditekan.
Namun
sayang, pengaturan penukaran mata uang yang ada terlalu kecil untuk digunakan.
Indonesia tengah berada di Chiang Mai initiative (CMIM); dengan penarikan
maksimal US$ 22,8 miliar. Namun porsi yang terhubung dengan IMF hanya bernilai
US$ 6,8% atau 30% dari jumlah tersebut. Mengingat tak ada negara yang
mengurangi dana dari CMIM, menjadi yang pertama bisa mengundang stigma politik.
India memiliki dana US$ 15 miliar untuk penukaran bilateral dengan Jepang.
Namun hanya sebesar 20% atau senilai US$ 3 miliar yang bisa ditarik tanpa
bantuan IMF. Jadi jumlahnya terlalu sedikit. (Shd)
Paket
kebijakan yang dikeluarkan pemerintah cukup baik untuk meningkatkan investasi
khususnya FDI yang cenderung meningkat dalam semester I 2013 ini. Namun masalah yang harus diperhatikan adalah
seberapa cepat penerapan kebijakan-kebijakan tersebut karena sangat menentukan
seberapa efektifnya dampak positifnya terhadap aliran investasi FDI yang pada
akhirnya dapat mendorong juga pertumbuhan ekonomi.
Kemungkinan
kebijakan pemerintah terkait investasi tersebut baru akan terlihat pada kuarta
I-2014, mengingat proses revisi daftar negatif investasi hingga saat ini masih
belum selesai pembahasannya.
Dampak
dari kebijakan-kebijakan tersebut baru akan terefleksi pada perbaikan neraca
transaksi berjalan pada kuartal I-2014, mengingat realisasi dan seberapa cepat
penerapan kebijakan tersebut dilakukan,
Kita
semua berharap, paket kebijakan ini akan dikombinasikan juga dengan paket
kebijakan dari Bank Indonesia (BI) dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) yang
utamanya bertujuan menstabilkan sektor keuangan dan nilai tukar. Kebijakan 4+1 yang dikeluarkan Bank Indonesia
diharapkan memperkuat paket kebijakan ekonomi pemerintah untuk menjaga
stabilitas pasar keuangan dan ekomoni makro. Lima langkah kebijakan itu
diharapkan bisa memperlancar aliran likuiditas antar bank, semoga…! (*)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar