Oleh
: DIDIK EDI NURAJI, S.Sos, MM
Alumni Pasca Sarjana STIEKN
Jayanegara Malang
Puluhan
tahun silam, Jember merupakan salah satu daerah penghasil kedelai, namun
sekarang para petani di Jember sudah beralih pada komoditas lain. Perubahan
tersebut juga terjadi di sentra-sentra penghasil kedelai lainnya di negeri ini.
Dengan adanya perubahan tersebut jangankan untuk melakukan ekspor, untuk
memenuhi kebutuhan kedelai dalam negeri sendiri kita sudah sangat tidak mampu.
Tingginya
kebutuhan kedelai dalam negeri tersebut mengakibatkan kita harus melakukan
impor. Dalam kondisi rupiah kuat atau stabil beberapa waktu lalu kita pernah
dipusingkan dengan harga kedelai impor yang menggila akibat turunnya produksi
kedelai asal Amerika.
Dalam
kurun waktu beberapa pekan, saat itu para produsen tempe dan tahu di tanah air
terus memutar otak untuk tetap bertahan dalam kondisi sulit tersebut. Para
perajin tempe dan tahu saat itu mendesak pemerintah agar mengambil
langkah-langkah strategis yang cepat untuk menstabilkan harga kedelai, namun
saat itu pemerintah tidak jua berhasil menstabilkan harga kedelai meski perajin
tempe dan tahu sempat mogok produksi dan memulangkan para pekerjanya.
Peristiwa
serupa namun sedikit berbeda saat ini kembali terulang. Para perajin tempe dan
tahu di negeri ini kembali dihadapkan pada melangitnya harga kedelai yang
mencapai Rp.12.000,-/kg, padahal dalam situasi normal harga kedelai tertinggi
hanya Rp.8.000,-.
Pekan
depan (9-13 September 2013) perajin tempe dan tahu ditanah air memutuskan untuk
menghentikan produksinya karena tidak sanggup menutupi kerugian yang cukup
besar jumlahnya. Para perajin tahun dan tempe melalui organisasi yang
menaunginya sudah dua pekan ini meminta pemerintah agar segera mengambil
langkah-langkah strategis untuk menekan harga kedelai. Namun yang terjadi harga
kedelai makin tidak terkendali.
Ketua
Gabungan Koperasi Produsen Tempe Tahu Indonesia (Gakoptindo) Aip Syarifuddin
dalam konferensi pers di Gedung Pusdiklat Bulog, Kuningan, 1 September 2013
kemarin menyatakan bahwa normalnya harga kedelai yang dibeli perajin adalah
antara Rp 7.500-Rp 7.700 per kilogram.
Sebodoh-bodohnya
keledai tak akan jatuh pada lobang yang sama untuk kedua kalinya. Namun yang
dialami pemerintah saat ini sudah kesekian kalinya, harga kedelai kembali dan
kembali lagi meroket diluar ambang batas rasio. Seperti jatuh ke lubang yang
sama, produsen tempe dan tahu kini sedang mengulang episode kenaikan harga kedelai
setiap terjadi gejolak nilai tukar rupiah. Belitan masalah yang dihadapi
produsen makanan rakyat ini terjadi karena ketergantungan terhadap produk bahan
baku impor tinggi.
Dalam
sebuah pidato, Bung Karno pernah mengatakan, “Kami menggoyangkan langit, menggemparkan
darat, dan menggelorakan samudra agar tidak jadi bangsa yang hidup hanya dari
2,5 sen sehari. Bangsa pekerja keras, bukan bangsa tempe, bukan bangsa kuli.
Bangsa yang rela menderita demi cita-cita.”
Bangsa
bermental tempe cenderung menyukai jalan pintas praktis-‘siap saji’ dan
rekayasa ‘karbit ragi,’ sehingga hasilnya
tak lebih dari kematangan magical irrasional, penuh ilusi tak masuk
akal. Karena kematangan natural menuntut konsistensi tinggi penuh kesabaran dan
penderitaan untuk mencapai tujuan.
Krisis
tempe melanda negeri beberapa hari belakangan ini. Melambungnya harga kedelai
sepekan terakhir ini berpotensi mengancam kelangsungan usaha tahu-tempe.
Pasalnya, suplai komoditas kedelai sedang terganggu akibat Amerika Serikat
sebagai pemasok utama kedelai dalam negeri tengah dilanda kekeringan dan gagal
panen. Sudah menjadi hukum pasar, ketika stok kedelai internasional menurun,
harga melambung tinggi ditambah lagi dengan melemahnya rupiah dalam beberapa
pekan terakhir.
Mungkin
ini sebagai dampak dari ketergantungan kita dari bahan pangan impor. Meroketnya
harga kedelai ini malah akan disambut dengan senyum para petani kita bila
Indonesia menjadi Negara penghasil kedelai. Karena harga kedelai yang tinggi
akan membuat devisa kita bertambah dari ekspor kedelai tersebut. tapi yang
terjadi saat ini, kita selalu tergantung pada bahan pangan impor. Saat ini
praktis sebagian besar kebutuhan rakyat Indonesia bergantung pada luar negeri,
tak hanya elektronik, ironisnya malah bahan pangan kita bergantung pada luar
negeri. Habislah kita sebagai negeri yang kata Koes Plus dikatakan sebagai
negeri gemah ripah loh jinawi, karena sebatang tongkat yang tumbuh menjadi
tanaman. Kebijakan impor ini bisa berdampak nggak sehat dan rawan manipulasi
serta mudahnya mempermainkan harga. Bagi pengusaha importir yang nakal, atau
kalo pun dikelola oleh badan negara tapi mental pejabatnya bobrok, malah
memanfaatkan masyarakat yang panic karena tingginya harga.
Pemerintah
memang akan melakukan langkah instan untuk menekan meroketnya harga kedelai
yaitu dengan membuka kesempatan yang seluas-luasnya untuk impor kedelai secara
langsung, sehingga kenaikan harga kedelai saat ini bisa ditekan dan produksi
tahu-tempe tidak terhenti. Pemerintah seakan tidak berpikir panjang, bahwa kebijakan
itu justru bisa memicu semakin merebaknya praktek kartel.
Langkah
instan ini membuka peluang pemasok kedelai impor yang jumlahnya hanya
segelintir untuk mempermainkan harga. Jika akhirnya harga kedelai naik
berlipat-lipat tak terkendali, lagi-lagi para pengusaha tahu-tempe yang
didominasi kalangan usaha kecil akan menjerit.
Solusi
sesaat biasanya cenderung membuat ‘tersesat.’
Mental tempe, di kalangan elit pemerintahan seakan memang sudah melekat.
Terlalu pendek dalam melihat sebuah permasalahan, seperti kata pepatah jawa,
“Esuk dhele, sore tempe.” Pagi kedelai, sore berubah tempe. Solusi praktis,
cepat dan instan, layaknya ‘sulapan’ produksi tempe yang hanya butuh waktu
setengah hari lewat proses peragian. Tak hanya itu, inkonsistensi juga menjadi ciri
khas mental tempe elit pemerintahan, atau bisa jadi ciri khas bangsa ini. Esuk
dhele sore tempe, statemen mencla-mencle gemar ingkar janji. Lain pagi, lain
sore, hanya manis di bibir, mung abang-abang lambe. Lain di mulut, lain di
hati, lain pula di aksi.
Persoalan
tempe hanyalah riak kecil dari gelombang gunung persoalan di negeri ini. Salah
satunya adalah persoalan kedelai. Kelangkaan kedelai bukan sekali ini saja
terjadi, tetapi siklus tahunan yang sebenarnya selalu berulang. Namun setiap
kali siklus datang, pemerintah terlihat seakan begitu kelimpungan, gagap dan
gugup, lalu gegap gempita mengumbar janji memperbaiki tata niaga kedelai.
Padahal gunung persoalan dari riak krisis kedelai ini adalah karena tidak
adanya swasembada kedelai. Setiap tahun hampir dipastikan muncul persoalan yang
sama, karena begitu ketergantungannya kita pada kedelai impor.
Beginilah
nasib bangsa yang terlalu bergantung pada impor untuk penyediaan bahan baku
pangan. Ketika nilai tukar mata uang sendiri melemah, harga komoditas impor
tersebut menjadi lebih mahal. Ketika pasokan dari negara penghasil komoditas
itu menurun, harga pun naik.
Tidak
sedikit masukan, saran, bahkan kritik yang disampaikan kepada pemerintah agar
fokus terhadap pemenuhan kebutuhan mendasar bahan baku pangan agar bangsa
Indonesia memiliki kemandirian sehingga tidak terlalu sensitif terhadap setiap
perubahan seperti yang terjadi saat ini.
Pemerintah
yang menganggap diri sebagai pihak paling tahu dan paling paham itu sekarang
kembali tersandung dan teperosok ke dalam lubang yang sama yakni tidak berdaya
menghadapi kenaikan berbagai harga komoditas pangan, yang sebenarnya sangat
strategis dan seharusnya mampu berswasembada. (*)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar