Senin, 16 September 2013

Impikan Kemandirian Pangan Nasional (Kajian Menghadapi Krisis dan Melangitnya Harga Kedelai)


Oleh : DIDIK EDI NURAJI, S.Sos, MM
Alumni Pasca Sarjana STIEKN Jayanegara Malang


Puluhan tahun silam, Jember merupakan salah satu daerah penghasil kedelai, namun sekarang para petani di Jember sudah beralih pada komoditas lain. Perubahan tersebut juga terjadi di sentra-sentra penghasil kedelai lainnya di negeri ini. Dengan adanya perubahan tersebut jangankan untuk melakukan ekspor, untuk memenuhi kebutuhan kedelai dalam negeri sendiri kita sudah sangat tidak mampu.
Tingginya kebutuhan kedelai dalam negeri tersebut mengakibatkan kita harus melakukan impor. Dalam kondisi rupiah kuat atau stabil beberapa waktu lalu kita pernah dipusingkan dengan harga kedelai impor yang menggila akibat turunnya produksi kedelai asal Amerika.

 
Dalam kurun waktu beberapa pekan, saat itu para produsen tempe dan tahu di tanah air terus memutar otak untuk tetap bertahan dalam kondisi sulit tersebut. Para perajin tempe dan tahu saat itu mendesak pemerintah agar mengambil langkah-langkah strategis yang cepat untuk menstabilkan harga kedelai, namun saat itu pemerintah tidak jua berhasil menstabilkan harga kedelai meski perajin tempe dan tahu sempat mogok produksi dan memulangkan para pekerjanya.
Peristiwa serupa namun sedikit berbeda saat ini kembali terulang. Para perajin tempe dan tahu di negeri ini kembali dihadapkan pada melangitnya harga kedelai yang mencapai Rp.12.000,-/kg, padahal dalam situasi normal harga kedelai tertinggi hanya Rp.8.000,-.
Pekan depan (9-13 September 2013) perajin tempe dan tahu ditanah air memutuskan untuk menghentikan produksinya karena tidak sanggup menutupi kerugian yang cukup besar jumlahnya. Para perajin tahun dan tempe melalui organisasi yang menaunginya sudah dua pekan ini meminta pemerintah agar segera mengambil langkah-langkah strategis untuk menekan harga kedelai. Namun yang terjadi harga kedelai makin tidak terkendali.
Ketua Gabungan Koperasi Produsen Tempe Tahu Indonesia (Gakoptindo) Aip Syarifuddin dalam konferensi pers di Gedung Pusdiklat Bulog, Kuningan, 1 September 2013 kemarin menyatakan bahwa normalnya harga kedelai yang dibeli perajin adalah antara Rp 7.500-Rp 7.700 per kilogram.
Sebodoh-bodohnya keledai tak akan jatuh pada lobang yang sama untuk kedua kalinya. Namun yang dialami pemerintah saat ini sudah kesekian kalinya, harga kedelai kembali dan kembali lagi meroket diluar ambang batas rasio. Seperti jatuh ke lubang yang sama, produsen tempe dan tahu kini sedang mengulang episode kenaikan harga kedelai setiap terjadi gejolak nilai tukar rupiah. Belitan masalah yang dihadapi produsen makanan rakyat ini terjadi karena ketergantungan terhadap produk bahan baku impor tinggi.
Dalam sebuah pidato, Bung Karno pernah mengatakan, “Kami menggoyangkan langit, menggemparkan darat, dan menggelorakan samudra agar tidak jadi bangsa yang hidup hanya dari 2,5 sen sehari. Bangsa pekerja keras, bukan bangsa tempe, bukan bangsa kuli. Bangsa yang rela menderita demi cita-cita.”
Bangsa bermental tempe cenderung menyukai jalan pintas praktis-‘siap saji’ dan rekayasa ‘karbit ragi,’ sehingga hasilnya  tak lebih dari kematangan magical irrasional, penuh ilusi tak masuk akal. Karena kematangan natural menuntut konsistensi tinggi penuh kesabaran dan penderitaan untuk mencapai tujuan.
Krisis tempe melanda negeri beberapa hari belakangan ini. Melambungnya harga kedelai sepekan terakhir ini berpotensi mengancam kelangsungan usaha tahu-tempe. Pasalnya, suplai komoditas kedelai sedang terganggu akibat Amerika Serikat sebagai pemasok utama kedelai dalam negeri tengah dilanda kekeringan dan gagal panen. Sudah menjadi hukum pasar, ketika stok kedelai internasional menurun, harga melambung tinggi ditambah lagi dengan melemahnya rupiah dalam beberapa pekan terakhir.
Mungkin ini sebagai dampak dari ketergantungan kita dari bahan pangan impor. Meroketnya harga kedelai ini malah akan disambut dengan senyum para petani kita bila Indonesia menjadi Negara penghasil kedelai. Karena harga kedelai yang tinggi akan membuat devisa kita bertambah dari ekspor kedelai tersebut. tapi yang terjadi saat ini, kita selalu tergantung pada bahan pangan impor. Saat ini praktis sebagian besar kebutuhan rakyat Indonesia bergantung pada luar negeri, tak hanya elektronik, ironisnya malah bahan pangan kita bergantung pada luar negeri. Habislah kita sebagai negeri yang kata Koes Plus dikatakan sebagai negeri gemah ripah loh jinawi, karena sebatang tongkat yang tumbuh menjadi tanaman. Kebijakan impor ini bisa berdampak nggak sehat dan rawan manipulasi serta mudahnya mempermainkan harga. Bagi pengusaha importir yang nakal, atau kalo pun dikelola oleh badan negara tapi mental pejabatnya bobrok, malah memanfaatkan masyarakat yang panic karena tingginya harga.
Pemerintah memang akan melakukan langkah instan untuk menekan meroketnya harga kedelai yaitu dengan membuka kesempatan yang seluas-luasnya untuk impor kedelai secara langsung, sehingga kenaikan harga kedelai saat ini bisa ditekan dan produksi tahu-tempe tidak terhenti. Pemerintah seakan tidak berpikir panjang, bahwa kebijakan itu justru bisa memicu semakin merebaknya praktek kartel.
Langkah instan ini membuka peluang pemasok kedelai impor yang jumlahnya hanya segelintir untuk mempermainkan harga. Jika akhirnya harga kedelai naik berlipat-lipat tak terkendali, lagi-lagi para pengusaha tahu-tempe yang didominasi kalangan usaha kecil akan menjerit.
Solusi sesaat biasanya cenderung membuat ‘tersesat.’  Mental tempe, di kalangan elit pemerintahan seakan memang sudah melekat. Terlalu pendek dalam melihat sebuah permasalahan, seperti kata pepatah jawa, “Esuk dhele, sore tempe.” Pagi kedelai, sore berubah tempe. Solusi praktis, cepat dan instan, layaknya ‘sulapan’ produksi tempe yang hanya butuh waktu setengah hari lewat proses peragian. Tak hanya itu, inkonsistensi juga menjadi ciri khas mental tempe elit pemerintahan, atau bisa jadi ciri khas bangsa ini. Esuk dhele sore tempe, statemen mencla-mencle gemar ingkar janji. Lain pagi, lain sore, hanya manis di bibir, mung abang-abang lambe. Lain di mulut, lain di hati, lain pula di aksi.
Persoalan tempe hanyalah riak kecil dari gelombang gunung persoalan di negeri ini. Salah satunya adalah persoalan kedelai. Kelangkaan kedelai bukan sekali ini saja terjadi, tetapi siklus tahunan yang sebenarnya selalu berulang. Namun setiap kali siklus datang, pemerintah terlihat seakan begitu kelimpungan, gagap dan gugup, lalu gegap gempita mengumbar janji memperbaiki tata niaga kedelai. Padahal gunung persoalan dari riak krisis kedelai ini adalah karena tidak adanya swasembada kedelai. Setiap tahun hampir dipastikan muncul persoalan yang sama, karena begitu ketergantungannya kita pada kedelai impor.
Beginilah nasib bangsa yang terlalu bergantung pada impor untuk penyediaan bahan baku pangan. Ketika nilai tukar mata uang sendiri melemah, harga komoditas impor tersebut menjadi lebih mahal. Ketika pasokan dari negara penghasil komoditas itu menurun, harga pun naik.
Tidak sedikit masukan, saran, bahkan kritik yang disampaikan kepada pemerintah agar fokus terhadap pemenuhan kebutuhan mendasar bahan baku pangan agar bangsa Indonesia memiliki kemandirian sehingga tidak terlalu sensitif terhadap setiap perubahan seperti yang terjadi saat ini.
Pemerintah yang menganggap diri sebagai pihak paling tahu dan paling paham itu sekarang kembali tersandung dan teperosok ke dalam lubang yang sama yakni tidak berdaya menghadapi kenaikan berbagai harga komoditas pangan, yang sebenarnya sangat strategis dan seharusnya mampu berswasembada. (*)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar