Oleh: DIDIK EDI NURAJI,
S.Sos, MM
Alumni
Pasca Sarjana STIEKN Jayanegara Malang
Berebut
miskin (atau setidak-tidaknya dianggap miskin) , itulah penyakit yang sedang
menjamur di negeri ini. Sudah jamak dilakukan oleh warga yang ingin dinyatakan
sebagai penerima bantuan untuk kaum miskin, namun celakanya hal tersebut
dilakukan oleh calon mahasiswa (cama) yang notabene merupakan calon kaum
intelektual bangsa, yang rela berbohong dan berpura-pura miskin demi
mendapatkan Beasiswa Pendidikan Mahasiswa Miskin (Bidikmisi), sebuah fenomena
yang mencengangkan kita semua.
Mengular
membentuk antrean untuk disahkan sebagai bagian dari kaum papa, yang karena itu
lantas menjadi berhak disantuni. Cap kemiskinan itu, dengan kerelaan dan kesadaran,
dilekatkan tanpa sedikitpun rasa sungkan. Di tengah makin banyaknya
program-program bantuan dan subsidi dari pemerintah, statistik warga miskin
alih-alih berkurang justru terus bertambah. Ada semacam keterpautan yang pasti
antara meningkatnya jumlah bantuan, dengan meningkatnya pula barisan penerima
bantuan.
Berpura-pura
dan mengaku miskin seakan menjadi hal yang biasa, akibat budaya malu yang
hilang, penderita penyakit jenis ini kian berkembang, mulai dari program BLT,
Raskin, PKH, BLSM hingga menjalar ke Bidikmisi. Pertanyaannya, apakah mereka
melakukan secara sadar? Sadar secara ragawi mungkin “Ya”, tetapi, sadar secara
nurani tentu “tidak”! Mengaku miskin tanpa dasar adalah perilaku menyimpang dan
berdampak kerugian pada orang lain. “mengaku miskin” adalah sebuah fenomena
kehidupan yang memprihatinkan. Agar tidak kronis, fenomena ini tidak boleh
dibiarkan dan harus disembuhkan.
Ironisnya,
sebagian orang sering berpura-pura miskin hanya ingin memperoleh bantuan,
walaupun harus mengorbankan harga diri. Untuk tujuan itu, mereka suka mengakui
dirinya miskin tanpa rasa malu. Bagi mereka, menerima bantuan merupakan sebuah
penghargaan dan persamaan hak. Namun, di sisi lain, tanpa sadar mereka telah
merugikan warga miskin yang lebih pantas memperolehnya.
Hal
ini muncul mungkin karena kecemasan tidak bisa ikut mendapatkan bantuan atau
beasiswa tersebut? Atau mungkinkah karena pengondisian sebagai upaya mencari
perhatian maupun ikut-ikutan, sehingga dianggap dan diperlakukan sama dengan
yang lainnya? Seharusnya kondisi tersebut
tidak dianggap latah, karena perbuatan ini tentunya bukan reaksi
kaget/terkejut yang tidak disadari (kuasa alam bawah sadar), melainkan terjadi
karena tidak sadar akan nilai. Ketidaksadaran ini, dapat menyebabkan perampasan
hak masyarakat miskin yang memanfaatkan bantuan untuk kelangsungan hidupnya.
Untuk
menyembuhkan virus tersebut, lingkungan memang harus untuk membantu menemukan
ketenangan hidup, baik lahir dan batin, yaitu sadar diri, lingkungan dan nilai
melalui sebuah “penyadaran kritis”. Mulailah keluar dari lingkaran kemiskinan.
Menyadari perilaku itu adalah kesalahan, merupakan langkah terbaik, karena
menerima bantuan bukan solusi menyelesaikan persoalan yang ada. Cara lainnya
untuk menyembuhkan penyakit mengaku miskin tersebut diantaranya adalah dengan
pendekatan religi yang dirasa cukup ampuh sebagai cara melakukan verifikasi
bagi calon mahasiswa penerima program beasiswa Bidik Misi. Dengan pendekatan
keagamaan tersebut mahasiswa yang merasa mampu secara ekonomi diharapkan dengan
sukarela mengundurkan diri dari program bidikmisi.
Janji
para elite kita pun masih tak jauh dari mimpi menyejahterakan rakyat.
Kampanye-kampanye politik, selalu saja mengangkat tema keberpihakan pada
ekonomi kerakyatan dan kemiskinan. Janji-janji politik tak bergeser dari
iming-iming perbaikan taraf dan kualitas hidup.
Hasilnya?
Jumlah orang miskin tak berkurang. Antrean pendaftar gakin mengular panjang.
Pengemis di jalan dan ruang publik tak kunjung habis meski dirazia rutin setiap
hari. Orang-orang terus saja mengeluh, berteriak tentang harga-harga kebutuhan
pokok yang melambung. Dan sekarang mulai merambah ke calon kaum intelektual
bangsa.
Miskin
tampaknya harus diredefinisi lagi. Pada situasi dan keadaan seperti apakah
seseorang layak disebut miskin? Banyak orang yang secara ekonomi hidupnya
berlangsung wajar, tetapi memang wajar untuk hidup sehari-hari itu saja. Ketika
ada kebutuhan mendadak seperti keluarga sakit, tak ada tabungan yang cukup
untuk membiayai. Maka dibunuhlah rasa malu.
Mengaku
miskin untuk mendapat perhatian dan bantuan dari uang negara merupakan sebuah
pengingkaran dan menyakiti hati saudara kita yang memang saat ini tidak sedikit
jumlah saudara kita yang masih sangat miskin dalam pengertian sesungguhnya. Ya
sungguh-sungguh miskin. Orang-orang yang hidupnya memang dilingkupi kesulitan
ekonomi, dan karena itu sangat layak disubsidi. Untuk merekalah sebenarnya
program-program bantuan sosial dan layanan gratis itu mestinya dipersembahkan.
Memanipulasi
data sosial ekonomi demi mendapatkan beasiswa Bidikmisi sesungguhnya merampas
hak orang miskin. Pendidikan harus didasari kejujuran karena manipulasi itu
berarti mengajarkan kepada anaknya sejak awal untuk tidak jujur. Saya berharap
para orang tua dan wali mahasiswa yang berkecukupan agar mempunyai rasa malu
untuk dinyatakan sebagai mahasiswa penerima bidikmisi
Tetapi
mungkin inilah Indonesia, negeri yang kekayaan utamanya adalah kemiskinan.
Republik ini bahkan pernah harus mengaku miskin demi mendapat pinjaman dari
IMF. Tersungkur dalam cap kesulitan keuangan untuk menarik rasa iba
negeri-negeri donor mengirimkan bantuan. Menengadah tangan di tengah fakta
bahwa meskipun negerinya miskin, sejumlah orang Indonesia mengisi daftar
teratas orang-orang kaya di Asia.
Makanya
kita tak perlu kaget, ketika kita mendengar ada calon mahasiswa yang mengaku
miskin demi mendapatkan beasiswa pendidikan mahasiswa miskin, padahal faktanya
sebenarnya ia berasal dari keluarga yang berkecukupan. Kita hanya bisa berharap
mereka segera sadar bahwa tindakan dan ucapan mareka adalah sebagian dari do’a,
amin… (*)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar