Kamis, 18 Juli 2013

Fenomena Perebutan Stempel Miskin



Oleh: DIDIK EDI NURAJI, S.Sos, MM
Alumni Pasca Sarjana STIEKN Jayanegara Malang

Berebut miskin (atau setidak-tidaknya dianggap miskin) , itulah penyakit yang sedang menjamur di negeri ini. Sudah jamak dilakukan oleh warga yang ingin dinyatakan sebagai penerima bantuan untuk kaum miskin, namun celakanya hal tersebut dilakukan oleh calon mahasiswa (cama) yang notabene merupakan calon kaum intelektual bangsa, yang rela berbohong dan berpura-pura miskin demi mendapatkan Beasiswa Pendidikan Mahasiswa Miskin (Bidikmisi), sebuah fenomena yang mencengangkan kita semua.
Mengular membentuk antrean untuk disahkan sebagai bagian dari kaum papa, yang karena itu lantas menjadi berhak disantuni. Cap kemiskinan itu, dengan kerelaan dan kesadaran, dilekatkan tanpa sedikitpun rasa sungkan. Di tengah makin banyaknya program-program bantuan dan subsidi dari pemerintah, statistik warga miskin alih-alih berkurang justru terus bertambah. Ada semacam keterpautan yang pasti antara meningkatnya jumlah bantuan, dengan meningkatnya pula barisan penerima bantuan. 

Berpura-pura dan mengaku miskin seakan menjadi hal yang biasa, akibat budaya malu yang hilang, penderita penyakit jenis ini kian berkembang, mulai dari program BLT, Raskin, PKH, BLSM hingga menjalar ke Bidikmisi. Pertanyaannya, apakah mereka melakukan secara sadar? Sadar secara ragawi mungkin “Ya”, tetapi, sadar secara nurani tentu “tidak”! Mengaku miskin tanpa dasar adalah perilaku menyimpang dan berdampak kerugian pada orang lain. “mengaku miskin” adalah sebuah fenomena kehidupan yang memprihatinkan. Agar tidak kronis, fenomena ini tidak boleh dibiarkan dan harus disembuhkan.
Ironisnya, sebagian orang sering berpura-pura miskin hanya ingin memperoleh bantuan, walaupun harus mengorbankan harga diri. Untuk tujuan itu, mereka suka mengakui dirinya miskin tanpa rasa malu. Bagi mereka, menerima bantuan merupakan sebuah penghargaan dan persamaan hak. Namun, di sisi lain, tanpa sadar mereka telah merugikan warga miskin yang lebih pantas memperolehnya.   
Hal ini muncul mungkin karena kecemasan tidak bisa ikut mendapatkan bantuan atau beasiswa tersebut? Atau mungkinkah karena pengondisian sebagai upaya mencari perhatian maupun ikut-ikutan, sehingga dianggap dan diperlakukan sama dengan yang lainnya? Seharusnya kondisi tersebut  tidak dianggap latah, karena perbuatan ini tentunya bukan reaksi kaget/terkejut yang tidak disadari (kuasa alam bawah sadar), melainkan terjadi karena tidak sadar akan nilai. Ketidaksadaran ini, dapat menyebabkan perampasan hak masyarakat miskin yang memanfaatkan bantuan untuk kelangsungan hidupnya.
Untuk menyembuhkan virus tersebut, lingkungan memang harus untuk membantu menemukan ketenangan hidup, baik lahir dan batin, yaitu sadar diri, lingkungan dan nilai melalui sebuah “penyadaran kritis”. Mulailah keluar dari lingkaran kemiskinan. Menyadari perilaku itu adalah kesalahan, merupakan langkah terbaik, karena menerima bantuan bukan solusi menyelesaikan persoalan yang ada. Cara lainnya untuk menyembuhkan penyakit mengaku miskin tersebut diantaranya adalah dengan pendekatan religi yang dirasa cukup ampuh sebagai cara melakukan verifikasi bagi calon mahasiswa penerima program beasiswa Bidik Misi. Dengan pendekatan keagamaan tersebut mahasiswa yang merasa mampu secara ekonomi diharapkan dengan sukarela mengundurkan diri dari program bidikmisi.
Janji para elite kita pun masih tak jauh dari mimpi menyejahterakan rakyat. Kampanye-kampanye politik, selalu saja mengangkat tema keberpihakan pada ekonomi kerakyatan dan kemiskinan. Janji-janji politik tak bergeser dari iming-iming perbaikan taraf dan kualitas hidup.
Hasilnya? Jumlah orang miskin tak berkurang. Antrean pendaftar gakin mengular panjang. Pengemis di jalan dan ruang publik tak kunjung habis meski dirazia rutin setiap hari. Orang-orang terus saja mengeluh, berteriak tentang harga-harga kebutuhan pokok yang melambung. Dan sekarang mulai merambah ke calon kaum intelektual bangsa.
Miskin tampaknya harus diredefinisi lagi. Pada situasi dan keadaan seperti apakah seseorang layak disebut miskin? Banyak orang yang secara ekonomi hidupnya berlangsung wajar, tetapi memang wajar untuk hidup sehari-hari itu saja. Ketika ada kebutuhan mendadak seperti keluarga sakit, tak ada tabungan yang cukup untuk membiayai. Maka dibunuhlah rasa malu.
Mengaku miskin untuk mendapat perhatian dan bantuan dari uang negara merupakan sebuah pengingkaran dan menyakiti hati saudara kita yang memang saat ini tidak sedikit jumlah saudara kita yang masih sangat miskin dalam pengertian sesungguhnya. Ya sungguh-sungguh miskin. Orang-orang yang hidupnya memang dilingkupi kesulitan ekonomi, dan karena itu sangat layak disubsidi. Untuk merekalah sebenarnya program-program bantuan sosial dan layanan gratis itu mestinya dipersembahkan.
Memanipulasi data sosial ekonomi demi mendapatkan beasiswa Bidikmisi sesungguhnya merampas hak orang miskin. Pendidikan harus didasari kejujuran karena manipulasi itu berarti mengajarkan kepada anaknya sejak awal untuk tidak jujur. Saya berharap para orang tua dan wali mahasiswa yang berkecukupan agar mempunyai rasa malu untuk dinyatakan sebagai mahasiswa penerima bidikmisi
Tetapi mungkin inilah Indonesia, negeri yang kekayaan utamanya adalah kemiskinan. Republik ini bahkan pernah harus mengaku miskin demi mendapat pinjaman dari IMF. Tersungkur dalam cap kesulitan keuangan untuk menarik rasa iba negeri-negeri donor mengirimkan bantuan. Menengadah tangan di tengah fakta bahwa meskipun negerinya miskin, sejumlah orang Indonesia mengisi daftar teratas orang-orang kaya di Asia.
Makanya kita tak perlu kaget, ketika kita mendengar ada calon mahasiswa yang mengaku miskin demi mendapatkan beasiswa pendidikan mahasiswa miskin, padahal faktanya sebenarnya ia berasal dari keluarga yang berkecukupan. Kita hanya bisa berharap mereka segera sadar bahwa tindakan dan ucapan mareka adalah sebagian dari do’a, amin… (*)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar