Oleh : DIDIK EDI NURAJI, S.Sos, MM
Alumni
Pasca Sarjana STIEKN Jayanegara Malang
Dua pekan terakhir publik tanah air
tampak ramai memperbincangkan dan memperdebatkan Bantuan Langsung
Sementara Masyarakat
(BLSM). Banyak kalangan yang menganggap peluncuran
program BLSM tersebut bukan solusi terbaik dari keterpurukan masyarakat miskin
kita.
Meskipun menjadi kontroversi dan sempat terjadi penolakan
keras dari berbagai elemen masyarakat, DPR
telah sepakat dan mengesahkan RAPBN Perubahan tahun anggaran 2013.
Dalam
Undang-Undang tersebut, pemerintah memasukkan postur kenaikan harga Bahan Bakar
Minyak (BBM) bersubsidi. Sebagai dampak kenaikan BBM, pemerintah juga
mengalokasikan dana kompensasi rakyat miskin, atau yang dikenal dengan Bantuan
Langsung Sementara Masyarakat (BLSM).
Pemerintah
akan memberikan dana kompensasi sebesar Rp 150 ribu tiap bulan kepada per
kepala keluarga. Namun, kebijakan ini dinilai sebagai kebijakan yang seenaknya
tanpa pertimbangan matang. Ditengah-tengah harga
kebutuhan pokok yang meroket uang tunai sebesar Rp. 150 ribu perbulan mungkin
tidak akan bisa berpengaruh banyak terhadap kesulitan perekonomian masyarakat
miskin, apalagi program tersebut hanya akan berlangsung beberapa bulan. Dalam
beberapa bulan kedepan pasca kenaikan BBM, masyarakat miskin kita dihadapkan
pada tebing keras nan terjal akibat meroketnya harga-harga kebutuhan pokok yang
sudah mulai diluar jangkauan mereka.
Kita semua tentu sepakat dan setuju masyarakat miskin perlu dibantu,
tetapi tentu tidak dengan memberikan dana secara tunai yang sangat tidak
mendidik. Kenapa? Dengan digelontorkan begitu saja, masyarakat miskin tetap
menjadi peminta-minta, tidak ada nilai edukasi yang diberikan dan mendorong masyarakat
miskin tetap miskin. Seharusnya pemerintah memikirkan pengentasan kemiskinan
dengan cara pendirian berbagai UKM mandiri, penciptaan lapangan pekerjaan, yang
justru lebih penting dibanding memberikan dana tunai seperti itu.
Kalau boleh sedikit kita menengok kebelakang. Pada zaman orde baru dulu
terdapat sebuah program pemberdayaan masyarakat bawah yang bernama program padat
karya. Melalui program padat karya tersebut, pemerintah memberdayakan sumber
daya manusia yang ada di masyarakat untuk mengelola sumber daya alam, dengan
imbalannya mereka menerima upah sebagai imbalannya. Salah satu contoh
pelaksanaan program padat karya tersebut diantaranya adalah normalisasi aliran
sungai. Uang yang diterima rakyat kita dari program padat karya rasanya lebih
membuat masyarakat miskin kita lebih bermartabat, karena uang yang mereka
terima bukan uang cuma-cuma hasil pemberian, namun diperoleh dari jerih payah
mereka. Disamping itu, dengan program padat karya, sangat kecil kemungkinan
adanya masyarakat yang sudah mampu yang pura-pura tidak mampu untuk turut dalam
program padat karya, karena masyarakat yang sudah berkecukupan akan merasa
gengsi untuk turut terjun membersihkan aliran sungai. Lain halnya dari program
BLT ataupun BLSM, karena masih bisa kita jumpai masyarakat yang kerap
berpura-pura miskin meski sebenarnya berkemampuan, hanya sekedar menginginkan
dimasukkan dalam penerima program BLSM.
Sebuah venomena menarik dapat kita lihat manakala ada
satu pemerintah daerah yang menerbitkan
aturan larangan memberi ke pengemis
di tempat umum/tertentu, sementara pemerintah pusat justru
mempeloporinya, dengan memberikan begitu saja dana BLSM ke masyarakat, secara tidak langsung pula memperlihatkan
bahwa pemerintah sudah mendorong masyarakatnya pada
kebiasaan mengemis. Mungkin kalau
bisa dianalogikan, pemberian BLSM itu seperti memberikan permen (kembang gula)
kepada anak kecil. Bila anak kecil terbiasa mengkonsumsi permen akan kurang
bagus bagi kesehatannya, namun hal itu tidak pernah disadari oleh anak kecil
tersebut, yang pasti si anak kecil selalu menerima pemberian tersebut dengan
senyuman.
Dengan
memberikan uang tunai BLSM tersebut, secara tidak kita sadari, pemerintah telah
menciptakan masyarakat yang cenderung menjadi pemalas dan hanya berharap uang pemberian
tersebut. Hal tersebut bertolak belakang dengan semangat kita untuk menciptakan
masyarakat menjadi masyarakat yang lebih kreatif
dalam mengelola sumber daya alam yang ada. Bahkan tidak sedikit masyarakatyang
sebenarnya mampu namun ikut-ikutan agar dimasukkan dalam kategori miskin
agar bisa masuk sebagai penerima dalam program BLSM yang seharusnya hanya untuk
masyarakat berekonomi kebawah tersebut.
Itulah salah satu hasil yang telah kita petik dan lihat bersama, tidak sedikit
dari rakyat Indonesia yang rela merendahkan martabat mereka dengan memiskiskan diri hanya sekedar bertujuan
untuk menerima uang pemberian pemerintah.
Kemiskinan
sepertinya tidak akan jauh meninggalkan bangsa kita ini, karena begitu banyak
rakyat yang menderita kemiskinan. Ini menandakan bahwa rencana pemerintah untuk
menuntaskan kemiskinan sepertinya hanya bertahan sementara dan salah satu cara
dengan mengadakan BLSM. Mungkin para pendiri Negara ini saat ini merasa malu dengan realita sekarang ini karena mereka tidak ingin
masyarakat Indonesia menjadi masyarakat yang miskin dan selalu ketergantungan
orang lain. Perdebatan dan diskusi-diskusi tentang BLSM saat ini hanya menyisakan meja
diskus dan kertas-kertas usangnya, karena program BLSM sudah tinggal
pelaksanaannya saja. Kedepan menjadi tugas kita semua untuk mengawal
pelaksanaan program BLSM tersebut agar dalam pelaksanaannya benar-benar tepat
sasaran dan tidak ada harapan lain, selain sebuah do’a semoga masyarakat
yang berekonomi menengah kebawah bisa terbantu dengan program ini, amin....
(*)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar