Kamis, 11 Juli 2013

BLSM dan Martabat Rakyat Miskin



Oleh : DIDIK EDI NURAJI, S.Sos, MM
Alumni Pasca Sarjana STIEKN Jayanegara Malang

Dua pekan terakhir publik tanah air tampak ramai memperbincangkan dan memperdebatkan Bantuan Langsung Sementara Masyarakat (BLSM). Banyak kalangan yang menganggap peluncuran program BLSM tersebut bukan solusi terbaik dari keterpurukan masyarakat miskin kita. Meskipun menjadi kontroversi dan sempat terjadi penolakan keras dari berbagai elemen masyarakat, DPR telah sepakat dan mengesahkan RAPBN Perubahan tahun anggaran 2013.
Dalam Undang-Undang tersebut, pemerintah memasukkan postur kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) bersubsidi. Sebagai dampak kenaikan BBM, pemerintah juga mengalokasikan dana kompensasi rakyat miskin, atau yang dikenal dengan Bantuan Langsung Sementara Masyarakat (BLSM).
 
Pemerintah akan memberikan dana kompensasi sebesar Rp 150 ribu tiap bulan kepada per kepala keluarga. Namun, kebijakan ini dinilai sebagai kebijakan yang seenaknya tanpa pertimbangan matang. Ditengah-tengah harga kebutuhan pokok yang meroket uang tunai sebesar Rp. 150 ribu perbulan mungkin tidak akan bisa berpengaruh banyak terhadap kesulitan perekonomian masyarakat miskin, apalagi program tersebut hanya akan berlangsung beberapa bulan. Dalam beberapa bulan kedepan pasca kenaikan BBM, masyarakat miskin kita dihadapkan pada tebing keras nan terjal akibat meroketnya harga-harga kebutuhan pokok yang sudah mulai diluar jangkauan mereka.
Kita semua tentu sepakat dan setuju masyarakat miskin perlu dibantu, tetapi tentu tidak dengan memberikan dana secara tunai yang sangat tidak mendidik. Kenapa? Dengan digelontorkan begitu saja, masyarakat miskin tetap menjadi peminta-minta, tidak ada nilai edukasi yang diberikan dan mendorong masyarakat miskin tetap miskin. Seharusnya pemerintah memikirkan pengentasan kemiskinan dengan cara pendirian berbagai UKM mandiri, penciptaan lapangan pekerjaan, yang justru lebih penting dibanding memberikan dana tunai seperti itu.
Kalau boleh sedikit kita menengok kebelakang. Pada zaman orde baru dulu terdapat sebuah program pemberdayaan masyarakat bawah yang bernama program padat karya. Melalui program padat karya tersebut, pemerintah memberdayakan sumber daya manusia yang ada di masyarakat untuk mengelola sumber daya alam, dengan imbalannya mereka menerima upah sebagai imbalannya. Salah satu contoh pelaksanaan program padat karya tersebut diantaranya adalah normalisasi aliran sungai. Uang yang diterima rakyat kita dari program padat karya rasanya lebih membuat masyarakat miskin kita lebih bermartabat, karena uang yang mereka terima bukan uang cuma-cuma hasil pemberian, namun diperoleh dari jerih payah mereka. Disamping itu, dengan program padat karya, sangat kecil kemungkinan adanya masyarakat yang sudah mampu yang pura-pura tidak mampu untuk turut dalam program padat karya, karena masyarakat yang sudah berkecukupan akan merasa gengsi untuk turut terjun membersihkan aliran sungai. Lain halnya dari program BLT ataupun BLSM, karena masih bisa kita jumpai masyarakat yang kerap berpura-pura miskin meski sebenarnya berkemampuan, hanya sekedar menginginkan dimasukkan dalam penerima program BLSM.
Sebuah venomena menarik dapat kita lihat manakala ada satu pemerintah daerah yang menerbitkan aturan larangan memberi ke pengemis di tempat umum/tertentu, sementara pemerintah pusat justru mempeloporinya, dengan memberikan begitu saja dana BLSM ke masyarakat, secara tidak langsung pula memperlihatkan bahwa pemerintah sudah mendorong masyarakatnya pada kebiasaan mengemis. Mungkin kalau bisa dianalogikan, pemberian BLSM itu seperti memberikan permen (kembang gula) kepada anak kecil. Bila anak kecil terbiasa mengkonsumsi permen akan kurang bagus bagi kesehatannya, namun hal itu tidak pernah disadari oleh anak kecil tersebut, yang pasti si anak kecil selalu menerima pemberian tersebut dengan senyuman.
Dengan memberikan uang tunai BLSM tersebut, secara tidak kita sadari, pemerintah telah menciptakan masyarakat yang cenderung menjadi pemalas dan hanya berharap uang pemberian tersebut. Hal tersebut bertolak belakang dengan semangat kita untuk menciptakan  masyarakat menjadi masyarakat yang lebih kreatif dalam mengelola sumber daya alam yang ada. Bahkan tidak sedikit masyarakatyang sebenarnya mampu namun ikut-ikutan agar dimasukkan dalam kategori miskin agar bisa masuk sebagai penerima dalam program BLSM yang seharusnya hanya untuk masyarakat berekonomi kebawah tersebut. Itulah salah satu hasil yang telah kita petik dan lihat bersama, tidak sedikit dari rakyat Indonesia yang rela merendahkan martabat mereka dengan memiskiskan diri hanya sekedar bertujuan untuk menerima uang pemberian pemerintah.
Kemiskinan sepertinya tidak akan jauh meninggalkan bangsa kita ini, karena begitu banyak rakyat yang menderita kemiskinan. Ini menandakan bahwa rencana pemerintah untuk menuntaskan kemiskinan sepertinya hanya bertahan sementara dan salah satu cara dengan mengadakan BLSM. Mungkin para pendiri Negara ini saat ini merasa malu dengan realita sekarang ini karena mereka tidak ingin masyarakat Indonesia menjadi masyarakat yang miskin dan selalu ketergantungan orang lain. Perdebatan dan diskusi-diskusi tentang BLSM saat ini hanya menyisakan meja diskus dan kertas-kertas usangnya, karena program BLSM sudah tinggal pelaksanaannya saja. Kedepan menjadi tugas kita semua untuk mengawal pelaksanaan program BLSM tersebut agar dalam pelaksanaannya benar-benar tepat sasaran dan tidak ada harapan lain, selain sebuah do’a semoga masyarakat yang berekonomi menengah kebawah bisa terbantu dengan program ini, amin.... (*)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar