Oleh : DIDIK EDI NURAJI, S.Sos, MM
Alumni Pasca Sarjana STIEKN
Jayanegara Malang
Akhir-akhir ini terdapat
fenomena menarik dari perkembangan demokrasi di Indonesia. Kita tahu bahwa mestinya
partai politik sebagai institusi yang merupakan lembaga inti demokrasi, sebagai
instrument utama demokrasi bisa lebih berperan dalam demokrasi tetapi justru
karena pertarungan ide institusionalitas
di partai politik yang mestinya secara teoritis ditegaskan dan dikuatkan tetapi
proses presidensialisasi malah lebih nampak, dimana partai dikendalikan oleh
figur yang lebih kuat daripada partai politik itu sendiri.
Fenomena dari gejala itu
bisa kita lihat dari bermacam hal, salah satunya diterminasi dari figur yang
lebih dominan daripada partai politik dalam proses penentuan sikap tentang
pemilih kita. Pemilih akan lebih memilih siapa figur yang lebih kuat di partai
politik tersebut, daripada gagasan politik, visi misi politik ataupun ideologi
politik yang menjadi jualan utama di partai politik.
Hari ini partai
seolah-olah hanya mengandalkan figur untuk menjadikan magnet untuk menaikkan elektoral
bagi partainya. Fenomena ini bisa kita lihat misalnya bagaimana proses di
pilkada, di pilpres. Kita masih ingat bagaimana di tahun 2004 ketika partai
demokrat sebagai pendatang baru yang bisa memperoleh suara fenomenal sebesar
7%, namun figur SBY jauh melampaui perolehan suara partai demokrat itu sendiri
pada saat itu. Dalam beberapa gelaran pilkada juga demikian, realita yang bisa
kita lihat dalam pilkada DKI Jakarta misalnya, kita tahu Jokowi dan Basuki
Cahaya Purnama memenangkan pertarungan pilkada DKI meski hanya didukung dengan sedikit mesin politik partai.
Fenomena tersebut
akhir-akhir ini kian terlihat sekali
partai politik semakin berusaha ingin mencangkokkan kekuatan figurisasi,
kekuatan dari popularitas dari figur terhadap partai politik, padahal mestinya
partai harusnya melihat lebih banyak lagi strategi untuk meningkatkan
elektabilitas untuk menangkap aspirasi publik untuk meningkatkan kepercayaan publik
terhadap partai politik. Karena itu fenomena ini saya kira menjadi problem
penting karena kita tahu demokrasi hari ini
meletakkan institusi penting demokrasi, hanya menyisakan sedikit ruang
diluar partai politik dalam proses rekrutmen politik kita.
Mengapa justru figur lebih
dipercaya oleh publik ketimbang partai politik sebagai instrument demokrasi,
yang mestinya partai melahirkan figur-figur, partai melahirkan tokoh, tapi
fenomena di Indonesia justru terbalik?. Kita tidak tahu bagaimana nasip kedepan
partai demokrat pasca SBY, kita tidak tahu bagaimana PDI Perjuangan pasca
Megawati Soekarnoputri, bagaimana Gerindra pasca Prabowo dan sebagainya.
Mungkin yang menjadi salah
satu penyebab beralihnya kesetiaan pemilih terhadap figur daripada partai
politik diantaranya adalah karena seolah-olah partai politik terjun kepublik
partai turun kebawah yang hanya lima tahun sekali saat menjelang pemilu. Inilah
yang mungkin penting untuk menjadi agenda pantari-partai politik kedepan.
Probem lain yang didera
partai-partai kita adalah karena partai-partai makin hari sepertinya makin
bergeser ke tengah, seolah ingin merebut hati massa pemilih tengah, tetapi
disaat yang sama sebenarnya warna partai semakin lengkap, publik semakin sulit
untuk merefleksi/membedakan ideologi satu partai dengan partai lainnya.
Permasalahan lain yang
juga menjadi problem kita adalah problem presidensialisasi partai, fenomena ini
yaitu dimana gejala partai hanya dikendalikan oleh seorang figur saja, semua
proses pengambilan keputusan strategis partai
hanya dikendalikan oleh sehingga partai menjadi tergantung dan terjebak
pada figuritas. Selain itu, problematika
berikutnya adalah citra partai politik yang makin terpuruk, masyarakat pemilih
lebih bangga disebut sebagai relawan salah satu relawan figure salah satu
partai dari pada disebut sebagai relawan dari partai politik itu sendiri. Artinya
ini ada fenomena peralihan yang semakin kesana.
Tidak hanya beberapa realita
tersebut diatas, problem sosilogis pemilih juga menjadi permasalahan tersendiri
menjelang hajatan lima tahunan mendatang, kita tahu budaya politik indonesia saat
ini yang masih menjadikan kharisma
sebagai salah satu sumber kekuasaan, sumber regenerasi politik, sehingga kharisma
itu hanya bisa dilekatkan pada figur, tidak bisa dilekatkan dan dicangkokkan
pada institusi partai politik kita.
Disisi lain sebagian dari
kita juga masih menunggu dari konvensi yang dilakukan oleh salah satu partai
politik. Konvensi tersebut mestinya berlatar belakang semangat untuk merekrut
calon pemimpin-pemimpin berkualitas, tapi yang terjadi adalah konvensi yang
bertujuan untuk mendongkrak elektabilitas partai yang jauh lebih besar
ketimbang semangat untuk menentukan calon pemimpin dengan integritas dan
kepabelitas yang tinggi. Mencangkokkan tokoh-tokoh yang memiliki popularitas ke
partainya seakan jauh lebih besar daripada semangat partai untuk menokohkan
menyiapkan panggung politik. Nah, kalau tidak ada perubahan, paling tidak dalam
jangka pendek agak sulit perubahan akan terjadi, kita akan sulit melihat
pemilihan calon pemimpin yang berasal dari elektabilitas terhadap partai karena
integritas, kapabelitas partai.
Dengan hipotesa diatas,
capres paling tidak akan muncul dari tiga jalur saja, pertama akan berasal dari
pengendali partai politik. Siapa saja mereka? Mungkin mereka adalah Aburizal
Bakrie, megawati kalau misalnya tidak memberi kesempatan pada Jokowi, atau
siapa saja yang nantinya menjadi capres yang dihasilkan dari konvensi partai
demokrat, Hatta Rajasa dari PAN, Prabowo Subianto dari Gerindra, Wiranto dari
Hanura dan sebagainya, mereka yang sangat berpeluang, diluar itu sangat sulit.
Yang kedua, adalah figur
yang memiliki elektabilitas yang kuat, dan ini dibutuhkan partai untuk
mendongkrak elektabilitas partai atau untuk mendokrak pasangan capresnya,
seperti Jokowi misalnya, itu akan dilirik oleh partai politik.
Yang ketiga, adalah
pemilik capital, pemilik modal yang memiliki kekuatan logistik yang melampaui standart pencapresan itu akan dilirik partai
politik. Karena itu, kalau tidak ada perubahan kita akan sulit menemukan dalam
hajatan demokrasi lima tahunan ini menu
yang tersedia dengan proses tinggi dan dengan pemilih yang memilih yang
berdasarkan integritas dan kapabelitas. Kecuali kalau partai politik bersemangat
menyiapkan tokoh-tokoh, menyiapkan kapasitas yang jelas, siapa yang akan
didukung dan punya parameter yang jelas. Karena itu agenda terpenting demokrasi
kita memperkuat posisi partai yang hari ini citranya makin memburuk yang harus
dibenahi dari dalam dan dari luar partai, memperbaiki perilaku elit partai,
membangun infrastruktur partai dan sistem di internal partai agar proses
rekrutmen politik lebih pada mekanisme meningkatkan proses demokratisasi sistem
daripada figur. Oleh karena itu tidak ada jalan lain selain kedepan partai
harus diperkuat, berdemokrasi tanpa
partai politik kita akan sulit membayangkan bagaimana agenda berdemokrasi kita
kedepan, agenda penguatan partai adalah sangat penting.
Benahi performa dan mulai dengan
kinerja nyata, formulasi itulah mungkin salah satunya yang harus dikerjakan
oleh para calon presiden, juga oleh
semua partai politik dalam agenda penguatan dan perbaikan citra partai.
Demikian kajian ulasan, mudah-mudahan menambah cakrawala dan perspektif, semoga dalam
hajatan demokrasi lima tahunan tahun depan bisa menghasilkan pemimpin yang lebih berintegritas, amin…
Tidak ada komentar:
Posting Komentar